Latest News

'

Sharing Lockdown di Kota Roma Meneguhkan Kita


TINGGALLAH BERSAMA AKU!


Teman-teman terkasih,
      sebelumnya perkenalkan saya Petrik Yoga, mahasiswa Indonesia dari Keuskupan Purwokerto yang sedang belajar di Roma. Saya tinggal di Collegio Urbano, dekat dengan Vatikan. Sudah sejak 5 Maret 2020 yang lalu, saya dan teman-teman memilih untuk tinggal di asrama. 
      Ketika kami tahu bahwa kampus ditutup sampai tanggal 15 Maret, yang akhirnya diperpanjang sampai 3 April atau bahkan hingga usai Paskah, kami sadar bahwa situasi di Italia sudah parah. Lalu pada 9 Maret 2020, pemerintah Italia memutuskan untuk melakukan lockdown nasional. Salah satu keputusan yang diambil adalah menutup fasilitas publik, termasuk gereja. Vatikan, negara kecil di kota Roma, pun menutup seluruh akses dan seluruh kegiatan negara. Akibatnya adalah banyak muncul pengumuman tentang “misa online” dari paroki-paroki di Italia.
      Mungkin teman-teman sempat melihat video yang viral tentang seorang imam di Milan yang meminta umatnya untuk mengirimkan foto mereka kepada imam tersebut. Dia bernama Romo Giuseppe Corbari. Romo Giuseppe  lalu mencetak foto-foto yang dikirim kepadanya lalu ditaruh di kursi di gereja. “Saya ingin melihat, mengingat, dan membawa mereka dalam Ekaristi yang saya persembahkan,” begitu katanya. Saya melihat videonya di Twitter dan tiba-tiba mata saya berair. Saya sadar betul bahwa Ekaristi adalah perayaan umat, bukan perayaan imam saja. Inisiatif Romo Giuseppe sungguh menyentuh hati saya dan meyakinkan saya bahwa beliau adalah pastor yang baik, pastor yang mencintai umat. Tetapi, ketika melihat di kolom komentar, perasaan miris ketika melihat komentar-komentar yang masih menganggap lucu Ekaristi, seperti mengatakan komuninya gofood, berkat online, dll. Komentar-komentar seperti itu yang rasanya kurang dewasa, kurang mencerminkan kedewasaan iman seseorang, dan jika saya boleh menyebut bahwa pribadi-pribadi tersebut kurang membina sense of crisis terhadap situasi dunia.
     Nah, lewat tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman untuk mulai memahami situasi, terutama memahami Ekaristi dalam bentuk online. Di Italia, hal tersebut sudah menjadi hal biasa, apalagi sudah mendapatkan izin dari konferensi para uskup. Di Indonesia, mungkin belum karena situasinya masih bisa belum segawat di sini. Tetapi saya mendengar, beberapa paroki di Indonesia sudah melakukannya.
     Teman saya, Benedictus, dari Keuskupan Agung Semarang, saat ini tinggal di Provinsi Bari, salah satu provinsi selatan Italia, minggu lalu bercerita tentang situasi paroki tempat dia tinggal. Romo parokinya memutuskan untuk mengadakan misa online setiap sore. Misa dihadiri beberapa umat, seperti lektor, pemimpin lagu, perekam misa. Dictus juga bercerita bahwa sebenarnya kerinduan umat di dalam Ekaristi selain dapat menerima Tubuh Kristus dalam komuni, juga rindu mendegarkan sabda dan juga homili dari imam. Umat paham, bahwa dalam situasi seperti ini, mendengarkan sabda dan peneguhan dari imam lewat homili saja sudah cukup. Mereka menerima komuni secara spiritual atau dalam bahasa Indonesia biasa kita sebut komuni batin.
     Sudah sejak masa Santo Thomas Aquinas, komuni batin sudah ada. Bahkan Santo Thomas Aquinas menjelaskan bahwa, komuni spiritual adalah sikap batin seseorang yang merindukan komuni secara sakramental. Santa Theresia dari Avila juga mengatakan, “Jika kamu tidak bisa menerima komuni secara sakramental, kamu tetap bisa menerima komuni secara spiritual”. Demikian juga Santo Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa kesatuan batin dengan Kristus juga dapat terjadi dalam komuni batin. Yang menjadi kegelisahan kita tentunya adalah rasa puas yang kurang penuh ketika tidak bisa menerima Tubuh Kristus secara langsung. Lha, mau bagaimana lagi? Situasinya sedang tidak mendukung. Tetapi, ada satu hal yang ingin saya tawarkan; bukankah seharusnya kita tetap bisa bersyukur bisa, minimal, mendengarkan sabda dan homili lewat misa online, entah lewat video atau radio, daripada mereka yang mungkin ada di penjara atau di dalam pedalaman yang tidak memiliki akses listrik atau sinyal untuk mendengarkan sabda Allah?
     Situasi serupa juga pernah terjadi dalam sejarah Gereja Katolik kita. Sebutlah pada masa iman kristiani dikejar-kejar. Umat merayakan Ekaristi dalam diam di bawah tanah, di katekombe, di rumah-rumah pada tengah malam. Mereka merayakan Ekaristi tanpa bisa menerima Tubuh Kristus yang mungkin kala itu tidak mudah didapat. Tetapi iman mereka tetap tumbuh, bahkan makin kuat. Hal tersebut terjadi karena keyakinan iman mereka akan Kristus Yesus lewat sabda yang mereka dengarkan. Isitlah kerennya dalam bahasa latin adalah fides ex auditu, iman lahir dari pendengaran.
     Jadi, teman-teman, lewat tulisan ini saya ingin mengajak Anda sekalian untuk membenahi cara berpikir kita, cara pandang kita tentang Ekaristi. Tolong jangan dibuat guyon. Bersyukurlah teman-teman yang masih bisa merayakan Ekaristi di paroki teman-teman. Dan saya secara pribadi memohon agar teman-teman berkenan untuk menyematkan kami yang sedang dalam masa sulit ini, orang-orang yang meninggal karena coronavirus, orang-orang sakit, para tenaga medis, dan juga pemerintah dalam doa-doa kalian semua. Bagi teman-teman yang juga sedang mengalami situasi serupa dengan kami di Italia, tetap semangat! Sempatkan waktu kalian untuk mendengarkan sabda lewat platform-platform yang ada atau juga kalian dapat mengakses bacaan harian lewat internet. Semoga dalam situasi seperti ini, yang kebetulan juga dalam masa Prapaskah, kita bisa semakin meningkatkan solidaritas kita dengan situasi dunia, mendekatkan diri kita dengan Tuhan lewat doa-doa dan rasa syukur kita.
     Di samping itu, saya juga ingin mengajak teman-teman untuk mematuhi apa yang disampaikan pemerintah. Bukan berarti saya adalah orang yang sangat pro dengan pemerintah, dalam konteks ini pemerintah Indonesia. Tetapi, kita sebagai warga negara yang baik tentu harus menaruh kepercayaan kepada pemerintah yang juga berjuang untuk melindungi kita. Ajakan untuk tinggal di rumah sebenarnya adalah ajakan secara universal. Jadi, kalau pemerintah sudah meminta teman-teman untuk tinggal di rumah, taatilah! Hal tersebut demi aman dan kenyamanan bersama. Keluarlah dari rumah jika ada perlu saja, misalnya belanja untuk kebutuhan. Bahkan, misa atau berdoa juga dapat dilakukan di dalam rumah, entah secara pribadi maupun bersama dengan keluarga. Toh, iman kita tidak akan terkikis oleh karenanya. Dalam episode di taman Getsemani, Yesus meminta para urid-Nya untuk berjaga, berdoa bersama-Nya. Dalam nyanyian Taize, kita sering mendendangkan lagu “Tinggallah bersama Aku, di dalam doa, di dalam doa...”. Nah, mungkin sekarang saatnya untuk tinggal di rumah bmersama keluarga untuk bersatu; berdoa dan saling mendoakan, menjaga dan saling menjaga, bersatu dan semakin menyatukan. Pun dalam misa, di ritus penutup imam atau diakon akan berkata “Pergilah! Kita semua diutus!”      Nah, saatnya kita melaksanakan perutusan kita, yaitu mematuhi aturan pemerintah, melindungi diri dan keluarga dengan stay at home, dan memupuk iman kristiani kita bersama keluarga dengan berdoa, mendengarkan sabda.
     Sedikit tambahan sharing. Kami di Italia tidak boleh keluar rumah kalau bukan untuk keperluan belanja dan bekerja. Beberapa dari kami masih bekerja di sektor-sektor tertentu, misalnya di bidang radio dan televisi. Keluar rumah pun kami harus membawa surat izin dari “kabupaten” yang memang melegalkan kita untuk keluar rumah dengan alasan khusus. Sampai saat ini, salah satu fasilitas publik yang dibuka adalah supermarket. Kami harus mengantri dengan jarak setiap klien adalah tiga meter dan klien yang bisa masuk di dalam supermarket dibatasi hanya 6 orang dan hanya selama 20 menit. Jika kami melanggar, yaitu keluar dengan tidak membawa surat misalnya, kami akan dikenakan denda (minimal 200 Euro atau sejumlah Rp 3.200.000,00) atau dipenjara dengan tuduhan membahayakan nyawa orang lain.
     Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan saya ini. Mari saling mendoakan dan semoga kita semua diberkati Tuhan. Jangan lupa sering-sering cuci tangan, kumur-kumur, dan mandi pakai sabun! Semoga kerinduan kita untuk berkumpul, bertatap wajah satu sama lain akan dipenuhi pada waktunya. Amin.

Hari Raya Santo Yosef,
Roma, 19 Maret 2020

Petrik Yoga


No comments