Seminar on line: Peran Keluarga di tengah Pandemi
Peran Keluarga di Tengah Pandemi:
Catatan Seminar Keluarga KWI

Seminar ini diikuti 245 peserta dan
berlangsung dari pukul 09.30 sampai pk 12.00. Seminar pertama secara on line di tengah pandemi ini mengusung topik
Pendampingan Psikososial dan Rohani di tengah Pandemi. Sebagaimana dikatakan
oleh Rm Aristanto, sekretaris komisi Keluarga KWI, yang membuka acara ini,
bahwa dampak pandemi ini memasuki
tahapan-tahapan yang lebih terkait langsung dengan hidup dan relasi keluarga.
Pada awalnya ketika musibah pandemi
terjadi, fokus pada penanganan masalah ekonomi dan kesehatan. Perkembangan
selanjutnya makin meningkat pada penanganan masalah psikososial. Di sinilah
peran keluarga-keluarga katolik menemukan kembali kekuatan pendampingan rohani
akibat pandemi ini. Lebih lanjut, seminar ini tidak bermaksud agar semua orang
menjadi konselor melainkan menguatkan peran keluarga yang bisa membantu keluarga
lain, family helping families.
sebagian peserta seminar on line |
Hal yang sama juga ditegaskan oleh
Bp Aloma Sarumaha. Keluarga memiliki potensi membangun ketahanan bangsa.
Keluarga-keluarga katolik, utamanya, memiliki peran sebagai Gereja rumah tangga
mendukung terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dan kristiani. Di tengah pandemi
ini, keluarga mengidentifikasi kembali panggilannya seperti bagaimana membangun
pola hidup sehat, menikmati kebersamaan seperti makan dan doa sebagai
kesempatan yang menguatkan satu dengan lainnya.
Selain itu, peran serta keluarga
dapat menjadi pendukung bagi kinerja pemerintah entah memoderasi agama yang
artinya hidup moderat tanpa sampai terpapar pemahaman agama ekstrem, tampil
tanpa membeda-bedakan. Juga peran agama menjaga kebersamaan dan menjadi pelayan
umat. Diperlukan data-data untuk dapat melakukan langkah-langkah pendampingan
yang tepat di tengah pandemi ini.
Mencegah agar Tidak Lebih Berat
Pandemi mempengaruhi dan mengubah
banyak hal. Pandemi berdampak bukan hanya secara ekonomi dan kesehatan tetapi
juga psikososial. Menurut ibu Anna Surti Arjani, kondisi kebencanaan ini
menggambarkan kenyataan yang muncul pada kondisi emosional pribadi dan sosial
seperti terancam, tertekan, marah, cemas, depresi dan putus asa.
Melihat grafik efek emosional
pandemi ini, pada awal kemunculan musibah sudah ada warning dan antisipasi
tetapi pada akhirnya juga terkena dampak langsung. Muncullah semangat berbagi-membantu
langsung kepada yang sakit, meninggal maupun pada yang terdampak secara
ekonomi. Banyak orang,baik pribadi, lembaga atau atas nama komunitas bergerak
memberikan bantuan materi. Sampailah pada situasi puncak karena semua dan
banyak yang sudah berperan. Akan tetapi efek emosional akan dirasakan lebih
panjang. Efek dissolusionment yang bisa berlansung selama setahun. Baru kemudian
sampai pada fase rekonstruksi- hidup baru.

Kondisi ini lama-lama bisa makin
berat. Ada klasifikasi dampak pandemi. Klasifikasi dampak pandemi dalam
keluarga dapat membantu proses penanganan dan peran yang diperlukan. Keluarga
yang terdampak ringan misalnya bosan di
rumah, bingun mengajari anak belajar, berubah cara kerja dan ini masuk dalam
kategori stres ringan. Yang terdampak lebih berat misalnya kehilangan pekerjaan
atau penghasilan, diri sendiri atau anggota keluarga sakit atau meninggal,
mengalami musibah cukup berat misalnya pencurian, dsb. Pada fase ini sudah masuk tahap stres tapi
masih sehat mental. Sedangkan keluarga yang terdampak berat misalnya adanya
KDRT, pertengkaran besar terus-menerus dan keluarga dengan orang dalam masalah
kejiwaan (ODMK). Pada fase ini menjadi fase stress berat. Akhirnya keluarga
yang terdampak sangat berat bila kondisi ini terjadi pada keluarga dengan orang
dalam gangguan jiwa (ODGJ). Fase ini sudah masuk kategori tidak sehat mental.
Dalam penangangan atas persoalan
psikososial ini, diperlukan pemahaman akan ruang lingkup yang bisa ditangani
secara tepat. Pilar pelayanan kesehatan mental mulai dari promotif misalnya meningkatkan kesadaran kesehatan, preventif dengan cara mencegah
terjadinya masalah kesehatan dan pencegahan lebih parah misalnya dengan
memberikan contoh dan dorongan sikap anti diskriminatif, membuat panduan
menjaga kesehatan dan membuat kelompok pendukung. Selanjutnya kuratif
(pengobatan penyakit), rehabilitatif
misalnya upaya pengembalian pasien sembuh kepada masyarakat dan paliatif, suatu tahap pelayanan kepada
pasien yang tidak membaik dengan pengobatan.

Yang diperlukan dalam hal ini, bukan
hanya siapa yang bisa berperan tetapi ruang lingkup mana yang bisa dilakukan.
Di sinilah peran Geraja, melalui pemerhati keluarga, dapat melakukan pencegahan
agar tidak semakin banyak pribadi dan keluarga yang mengalami bencana berat
atau sangat berat.
Untuk melakukan itu diperlukan kerja
sama dengan semua pihak sehingga bisa saling mendukung dan menguatkan. Misalnya
dengan melakukan tindakan dengan memperkuat koordinasi pelayanan baik berupa
peneguhan tentang pencegahan sakit berupa pengetahuan atan informasi tentang
langkah-langkah hidup sehat. Lalu juga bisa memperhatikan apakah umat yang
rentan tetap mendapatkan kebutuhan baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan
dukungan komunitas. Juga bisa melakukan
dengan memperkuat struktur pengasuhan
dalam keluarga. Diperlukannya kepastian bahwa anak dan remaja mendapatkan pendidikan
dan pengasuhan yang tepat sesuai dengan perkembangan fisik dan mentalnya. Atau
juga bisa membentuk lingkungan yang melindungi terutama bagi yang rentan
seperti kaum difabel, lansia dan sakit kronis sehingga bebas dari stigma.
Ditambahkan Sense of Krisis

Kepekaan akan krisis ini sebetulnya
membawa pada sikap iman. Karena
disatukan oleh kemanusiaan yang sama maka membawa pada sikap asertif
proaktif, bukannya malah pada egoisme pasif seperti tidak mau tahu, diam, tidak
peduli, cuek, pandemi adalah urusan negara, defensif, membentengi diri sendiri
dan cari aman atau selamat untuk diri sendiri. Atau malah ke arah egoisme
agresif seperti takut, marah, menyalahkan, mencari kambing hitam, menuntut,
mencari untung, merampok, menipu, memberontak, dan melakukan kekerasan rumah
tangga. Demikian pula bukan hanya egoisme
tapi juga kolektivis pasif dan agresif.
Dalam tataran kelompok juga bisa mencari keuntungan untuk kelompoknya
sendiri, mencari aman bahkan menutup mata pada kepentingan universal maupun
menebarkan kejahatan, menindas kelompok dan menyerang kelompok lain.
Sikap iman asertif proaktif ini
tampak pada hidup mempunyai martabat dan nilai yang sama, bukan hanya yang
istimewa adalah hidupku sendiri. Dengan demikian tampak adanya solidaritas
karena semua bertanggungjawab menjaga dan melestarikan kehidupan sebagai tanda
dan ungkapan iman sejati.

(RD Ag Dwiyantoro, peserta seminar keluarga)
No comments