Latest News

'

Seminar on line: Peran Keluarga di tengah Pandemi

Peran Keluarga di Tengah Pandemi:
Catatan Seminar Keluarga KWI


            Seminar Peran Keluarga di tengah pandemi diselenggarakan oleh Komisi Keluarga KWI pada hari Senin, 18 Mei 2020. Digelar secara on-line melalui media zoom maupun youtube melalui canel komsos KWI dan Komsos Keuskupan Bandung, seminar yang menghadirkan pembicara Anna Surti Arjani S.Psi., M.Si, Rm Dr Y Sunardi SCJ, Bp Uskup Mgr Christophorus Tri Harsono, bp Aluma Sarumaha dan Catherine Martosudarmo, selaku moderator diselenggarakan untuk pendamping dan pemerhati keluarga di keuskupan, lembaga gereja dan komunitas kategorial keluarga. Ibu Anna Surti Arjani adalah  koordinator psikolog klinis Jakarta, Rm Y Sunardi SCJ adalah seorang psikolog dan formator, serta bp Aluma Sarumaha adalah Plt Dirjen Bimas Katolik.
            Seminar ini diikuti 245 peserta dan berlangsung dari pukul 09.30 sampai pk 12.00. Seminar pertama secara on line  di tengah pandemi ini mengusung topik Pendampingan Psikososial dan Rohani di tengah Pandemi. Sebagaimana dikatakan oleh Rm Aristanto, sekretaris komisi Keluarga KWI, yang membuka acara ini, bahwa  dampak pandemi ini memasuki tahapan-tahapan yang lebih terkait langsung dengan hidup dan relasi keluarga.
            Pada awalnya ketika musibah pandemi terjadi, fokus pada penanganan masalah ekonomi dan kesehatan. Perkembangan selanjutnya makin meningkat pada penanganan masalah psikososial. Di sinilah peran keluarga-keluarga katolik menemukan kembali kekuatan pendampingan rohani akibat pandemi ini. Lebih lanjut, seminar ini tidak bermaksud agar semua orang menjadi konselor melainkan menguatkan peran keluarga yang bisa membantu keluarga lain, family helping families.
sebagian peserta seminar on line
            Hal yang sama juga ditegaskan oleh Bp Aloma Sarumaha. Keluarga memiliki potensi membangun ketahanan bangsa. Keluarga-keluarga katolik, utamanya, memiliki peran sebagai Gereja rumah tangga mendukung terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dan kristiani. Di tengah pandemi ini, keluarga mengidentifikasi kembali panggilannya seperti bagaimana membangun pola hidup sehat, menikmati kebersamaan seperti makan dan doa sebagai kesempatan yang menguatkan satu dengan lainnya.
            Selain itu, peran serta keluarga dapat menjadi pendukung bagi kinerja pemerintah entah memoderasi agama yang artinya hidup moderat tanpa sampai terpapar pemahaman agama ekstrem, tampil tanpa membeda-bedakan. Juga peran agama menjaga kebersamaan dan menjadi pelayan umat. Diperlukan data-data untuk dapat melakukan langkah-langkah pendampingan yang tepat di tengah pandemi ini.

Mencegah agar Tidak Lebih Berat

            Pandemi mempengaruhi dan mengubah banyak hal. Pandemi berdampak bukan hanya secara ekonomi dan kesehatan tetapi juga psikososial. Menurut ibu Anna Surti Arjani, kondisi kebencanaan ini menggambarkan kenyataan yang muncul pada kondisi emosional pribadi dan sosial seperti terancam, tertekan, marah, cemas, depresi dan putus asa.
            Melihat grafik efek emosional pandemi ini, pada awal kemunculan musibah sudah ada warning dan antisipasi tetapi pada akhirnya juga terkena dampak langsung. Muncullah semangat berbagi-membantu langsung kepada yang sakit, meninggal maupun pada yang terdampak secara ekonomi. Banyak orang,baik pribadi, lembaga atau atas nama komunitas bergerak memberikan bantuan materi. Sampailah pada situasi puncak karena semua dan banyak yang sudah berperan. Akan tetapi efek emosional akan dirasakan lebih panjang.  Efek dissolusionment yang bisa berlansung selama setahun. Baru kemudian sampai pada fase rekonstruksi- hidup baru.
            Pada fase emosional panjang ini pada awalnya bisa beradaptasi, tetapi lama-lama merasa gelisah karena keadaan belum membaik dan muncul kemarahan karena ada kebijakan seperti pengaturan yang tidak konsisten. Juga didapat situasi keuangan yang mencemaskan karena ketiadaan tabungan atau pekerjaan dan masa depan. Muncullah takut dan kecewa karena harus mengubah rencana hidup seperti sudah merencanakan pernikahan, dsb. Bahkan akan menjadi keluhan psokologis awal bertambah berat.  Akan muncul pula kondisi emosi kecewa karena bantuan tidak sesuai yang diharapkan, tidak siap dengan perubahan permanen dan tidak yakin bisa mengatasi tantangan.
            Kondisi ini lama-lama bisa makin berat. Ada klasifikasi dampak pandemi. Klasifikasi dampak pandemi dalam keluarga dapat membantu proses penanganan dan peran yang diperlukan. Keluarga yang terdampak ringan misalnya  bosan di rumah, bingun mengajari anak belajar, berubah cara kerja dan ini masuk dalam kategori stres ringan. Yang terdampak lebih berat misalnya kehilangan pekerjaan atau penghasilan, diri sendiri atau anggota keluarga sakit atau meninggal, mengalami musibah cukup berat misalnya pencurian, dsb.  Pada fase ini sudah masuk tahap stres tapi masih sehat mental. Sedangkan keluarga yang terdampak berat misalnya adanya KDRT, pertengkaran besar terus-menerus dan keluarga dengan orang dalam masalah kejiwaan (ODMK). Pada fase ini menjadi fase stress berat. Akhirnya keluarga yang terdampak sangat berat bila kondisi ini terjadi pada keluarga dengan orang dalam gangguan jiwa (ODGJ). Fase ini sudah masuk kategori tidak sehat mental.
            Dalam penangangan atas persoalan psikososial ini, diperlukan pemahaman akan ruang lingkup yang bisa ditangani secara tepat. Pilar pelayanan kesehatan mental mulai dari promotif misalnya meningkatkan kesadaran kesehatan, preventif dengan cara mencegah terjadinya masalah kesehatan dan pencegahan lebih parah misalnya dengan memberikan contoh dan dorongan sikap anti diskriminatif, membuat panduan menjaga kesehatan dan membuat kelompok pendukung. Selanjutnya  kuratif (pengobatan penyakit), rehabilitatif misalnya upaya pengembalian pasien sembuh kepada masyarakat dan paliatif, suatu tahap pelayanan kepada pasien yang tidak membaik dengan pengobatan.
            Mengambil posisi atau peran dalam  penanganan mereka yang terdampak ringan dan lebih berat menjadi bagian yang bisa dilakukan oleh semua orang, termasuk masyarakat, tokoh agama dan juga pemerintah.  Sementara untuk yang terdampak berat  dan sangat berat bantuan ahli diperlukan untuk mengurai tingkat emosional dalam pandemi ini.
            Yang diperlukan dalam hal ini, bukan hanya siapa yang bisa berperan tetapi ruang lingkup mana yang bisa dilakukan. Di sinilah peran Geraja, melalui pemerhati keluarga, dapat melakukan pencegahan agar tidak semakin banyak pribadi dan keluarga yang mengalami bencana berat atau sangat berat.
            Untuk melakukan itu diperlukan kerja sama dengan semua pihak sehingga bisa saling mendukung dan menguatkan. Misalnya dengan melakukan tindakan dengan memperkuat koordinasi pelayanan baik berupa peneguhan tentang pencegahan sakit berupa pengetahuan atan informasi tentang langkah-langkah hidup sehat. Lalu juga bisa memperhatikan apakah umat yang rentan tetap mendapatkan kebutuhan baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan dukungan komunitas.  Juga bisa melakukan dengan  memperkuat struktur pengasuhan dalam keluarga. Diperlukannya kepastian bahwa anak dan remaja mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang tepat sesuai dengan perkembangan fisik dan mentalnya. Atau juga bisa membentuk lingkungan yang melindungi terutama bagi yang rentan seperti kaum difabel, lansia dan sakit kronis sehingga bebas dari stigma.

Ditambahkan Sense of Krisis

            Rm Y Sunardi, menegaskan pentingnya kepekaan pada krisis. Musibah pandemi tidak memandang agama, golongan, suku, pangkat jabatan dan pekerjaan. Semua sedang dalam siauasi susah, tidak tentu, terancam, terisolasi dan berduka, baik cara hidup kerja, ritme hidup harian tidak bisa dijalankan, ada perubahan yang tidak mudah untuk dicerna maupun masa depan tidak pasti.
            Kepekaan akan krisis ini sebetulnya membawa pada sikap iman. Karena  disatukan oleh kemanusiaan yang sama maka membawa pada sikap asertif proaktif, bukannya malah pada egoisme pasif seperti tidak mau tahu, diam, tidak peduli, cuek, pandemi adalah urusan negara, defensif, membentengi diri sendiri dan cari aman atau selamat untuk diri sendiri. Atau malah ke arah egoisme agresif seperti takut, marah, menyalahkan, mencari kambing hitam, menuntut, mencari untung, merampok, menipu, memberontak, dan melakukan kekerasan rumah tangga.              Demikian pula bukan hanya egoisme tapi juga kolektivis pasif dan agresif.  Dalam tataran kelompok juga bisa mencari keuntungan untuk kelompoknya sendiri, mencari aman bahkan menutup mata pada kepentingan universal maupun menebarkan kejahatan, menindas kelompok dan menyerang kelompok lain.
            Sikap iman asertif proaktif ini tampak pada hidup mempunyai martabat dan nilai yang sama, bukan hanya yang istimewa adalah hidupku sendiri. Dengan demikian tampak adanya solidaritas karena semua bertanggungjawab menjaga dan melestarikan kehidupan sebagai tanda dan ungkapan iman sejati.
            Dalam situasi pandemi ini, keluarga diingatkan kembali sebagai miniatur Kerajaan Allah. Keluarga memiliki peran dalam pewartaan Sabda, pengajaran dan pendewasaan iman Kristiani bagi anak-anak. Dengan situasi pandemi ini, keluarga diajak menata ulang perannya sebagai jalan kekudusan.  Keluarga memiliki peran menyelamatkan di saat krisis seperti yang terjadi pada mukjizat perkawinan di Kana. Itulah yang menjadi tanda kehadiran keluarga sebagai miniatur Kerajaan Allah. Melalui animasi pada keluarga-keluarga untuk proaktif mengenali dan mendata keluarga yang terdampak, mempercayakan peran peneguhan pada keluarga-keluarga terlatih untuk menguatkan keluarga terdampak serta menguatkan kembali panggilan keluarga katolik sebagai miniatur Kerajaan Allah melalui cara hidup keluarganya. 
(RD Ag Dwiyantoro, peserta seminar keluarga) 

No comments