Latest News

'

Pertobatan

Panggilan kepada pertobatan adalah salah satu tema religius dan moral terpenting yang ditemukan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Istilah pertobatan secara historis punya arti yang kaya dan menjadi perhatian baru dalam theologi Katolik dan Protestan dewasa ini. Meskipun pertobatan dapat diartikan dalam berbagai cara yang berbeda dan bisa diterapkan kepada bermacam rentetan kejadian dalam hidup seseorang, namun apa yang menjadi karakteristik dari pengalaman itu adalah perubahan radikal dalam diri orang yang bertobat.

Menurut tulisan Injil (Mt 4:17 dan Mk 1:15), tantangan pertama yang diucapkan oleh Yesus dalam pelayananNya adalah "Bertobatlah!". Namun demikian, seruan Yesus kepada pertobatan bukanlah sesuatu yang sama sekali baru bagi para pendengarNya kerena para nabi Israel berulangkali menyerukan ajakan ini. Para nabi menggunakan kata Ibrani shub untuk memanggil Israel berpaling dari berhala (Yer 7:9), ketidakadilan dan imoralitas (Yes 55:7) dan berbalik kepada Allah untuk kerahiman dan keselamatan. Dalam tulisan-tulisan para rabi, pertobatan dan penyesalan adalah kondisi-kondisi untuk kedatangan sang Mesias yang ia sendiri akan mempertobatkan orang-orang kepada Allah.

"Pertobatan adalah pertama-tama karya Allah kepada manusia karena Allah lah yang pertama menawarkan kerahiman dan keselamatan." 

Dalam Perjanjian Baru, kata Yunani yang digunakan untuk pertobatan adalahmetanoia (umumnya terdapat pada Injil-injil sinoptik dan Kitab Wahyu) danepistrophe (dalam Kisah Para Rasul, Surat-surat Paulus, dan dalam Surat Pertama Petrus). Meskipun kedua kata Yunani itu tampaknya bersinonim dan keduanya bisa untuk menterjemahkan shub, namun ada satu perbedaan dalam penekanan. Metanoia lebih menekankan proses berpikir dan menghendaki yang melatarbelakangi tindakan, sedangkan epistrophe lebih menekankan ciri-ciri yang kelihatan dari tindakan eksternal. Bagaimanapun keduanya menyatakan perubahan radikal dari keseluruhan pribadi. Maka seruan pertobatan sebagaimana digunakan dalam kedua perjanjian selalu punya konotasi sebuah kerinduan mendalam untuk kembali kepada Tuhan dan persahabatan ilahi.

Perintah biblis untuk bertobat menyingkapkan tiga kenyataan penting mengenai relasi manusiawi-ilahi. Pertama, kemanusiaan penuh dosa memisahkan diri dari Allah dan membutuhkan penyatuan kembali. Kedua, pertobatan adalah pertama-tama karya Allah kepada manusia karena Allah lah yang pertama menawarkan kerahiman dan keselamatan. Maka seruan kepada pertobatan itu sendiri sudah merupakan injil yaitu kabar sukacita. Dan akhirnya, pertobatan memerlukan tanggapan dari manusia - sebuah pengakuan akan kedosaan, keterbukaan untuk menerima kerahiman Tuhan dan pengampunan dalam iman, dan kemauan penuh kegembiraan untuk mencintai Allah dan sesama dalam kata dan tindakan.

Pertobatan dari St. Paulus dan St. Agustinus kiranya yang telah menggugah refleksi paling utama dalam seluruh tradisi kristiani. Catatan dalam Kitab Suci tentang pertobatan Paulus (Kis 9:1-27, 22:1-21, 26:9-23; 1Kor 9:1, 15:8-11; Gal 1:15-17) dan otobiografi Agustinus yang berjudul Pengakuan (Confessions) melukiskan dengan baik pola pengalaman pertobatan. Kedua orang ini mengalami (1) disoreintasi, (2) pengumpulan bersama elemen-elemen masa lalu mereka, (3) pengampunan atas kegagalan-kegagalan dan pengalaman kerahiman, dan (4) campur tangan dan panggilan dari Tuhan.

Pertobatan menyangkut reorientasi radikal dari keinginan, cara-cara berpikir dan tindakan seseorang. Akibat dosa-dosa di dunia, pertobatan tidak hanya melibatkan transformasi pribadi menyeluruh, tapi juga transformasi struktur sosial dalam masyarakat. Hasil dari reorientasi mendasar ini tidak bisa dicapai dalam sesaat dan tidak bisa diperoleh sendirian. Pertobatan mesti dilihat sebagai perkembangan, sebagai usaha terus menerus kepada kekudusan yang dibantu dan ditopang oleh orang lain dalam komunitas orang beriman. Maka dalam pandangan ini semua pertobatan merupakan pembelokan dan penarikan diri bertahap dari dosa dan keegoisan dan berbalik kepada Tuhan yang adalah sumber segala yang baik. Karena kita adalah mahluk yang sampai pada otentisitas dan kematangan pada kurun waktu yang panjang dalam sebuah komunitas, maka bisalah diperkirakan bahwa kita yang menjalani pertobatan berada dalam tahap-tahap yang berbeda dalam komitmen kita kepada Injil. Akan tetapi, karena pengaruh dosa pribadi dan dosa yang menjangkiti dunia akan terus bersama kita sampai Yesus datang lagi dalam kemulian, maka mustahilah bagi seseorang untuk bisa mengatakan bahwa ia telah secara menyeluruh dan sepenuhnya sudah bertobat. Sebagai peziarah kita mengalami diri kita sebagai sekaligus orang berdosa dan bertobat.

Dalam kehidupan moral pribadi dan komunitas kita bisa bicara tentang penarikan diri bertahap, namun mendasar, dari melayani dahulu kebutuhan-kebutuhan kita sendiri dan berpaling kepada nilai yang benar sebagai sumber dan kriteria dalam mengambil keputusan dan berhubungan dengan perasaan kita dimana kita menarik diri dari keegoisan dan berpaling kepada kasih dan pelayanan bagi orang lain. Karena perasaan kita diarahkan oleh gambaran-gambaran yang membanjiri imaginasi kita, pertobatan afektif memerlukan perubahan mendasar dalam simbol-simbol dan gambaran-gambaran yang mempengaruhi pengambilan keputusan kita. Maka, gambaran-gambaran yang menanamkan kecurigaan dan kebencian terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat berdasarkan suku, jenis kelamin atau kepercayaan perlu dicabut dan diberikan gambaran-gambaran yang baru.

Akhirnya, ada juga pertobatan religius, yaitu berpaling dari semua kenyataan-kenyataan dunia sebagai tujuan akhir dari keinginan dan komitmen kita dan berbalik kepada yang ilahi. Ini adalah pengalaman jatuh cinta kepada Allah yang menggembirakan sebagai tanggapan kepada anugerah rahmat ilahi. ***

 

oleh Pastor Boedi,SDB

Sumber : http://www.st-yohanesbosco.org

 

No comments