Latest News

'

Ajaran Gereja tentang Kontrasepsi di Jaman Modern

Telah diuraikan dalam Buletin Perdhaki edisi yang lalu, bahwa pada zaman Gereja awal telah dikenal kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Misalnya dengan memperpanjang masa menyusui bayi. Motivasinya pun bermacam-macam. Misalnya seorang budak yang akan dibebaskan menunda untuk mempunyai anak sampai si budak sudah dibebaskan, agar anak yang dilahirkan itu lahir sebagai orang merdeka. Sedangkan pada masa St. Thomas Aquinas, ia sudah membedakan secara jelas antara hubungan seksual yang memakai alat sehingga tidak ada pembuahan dan hubungan seksual yang dilakukan dalam situasi yang tidak mungkin ada pembuahan. Hubungan seksual dengan orang yang sudah menopause, atau orang steril, atau sedang mengandung, bukanlah dosa melawan kodrat meskipun dengan cara itu tidak mungkin mendapatkan anak.

Pada zaman modern dikenal Ensiklik Casti Connubii (31 Desember 1930). Di sini ditekankan 3 makna perkawinan, yaitu Bonum proles (anak yang diterima dalam kasih dan didik secara religius), Bonum Fides (ikatan perkawinan itu langgeng sehingga dituntut kesetiaan suami istri) dan Bonum Sacramentum (keluarga sebagai sarana rahmat dan pengudusan). Di sini juga pertama kalinya diajarkan bahwa mempergunakan masa-masa tidak subur pada wanita untuk mengatur kelahiran dapat dibenarkan secara moral. Pada waktu itu, pengetahuan bahwa ada masa tidak subur dalam diri wanita merupakan pengetahuan yang masih baru.

Selanjutnya salah satu dokumen Konsili Vatikan II ialah konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (GS) tentang Gereja dalam dunia modern. Dalam konstitusi itu dibicarakan juga masalah martabat perkawinan dan keluarga. Berikutnya dikenal ensiklik Humanae Vitae (HV).

 

Ensiklik Humanae Vitae

Dalam sejarah gereja Katolik, Ensiklik Humanae Vitae adalah salah satu ensiklik yang paling kontroversial dalam arti paling mendapat tanggapan yang luas, baik pro maupun kontra, baik di dalam Gereja Katolik maupun di luar Gereja Katolik. Ensiklik Humanae Vitae yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tanggal 25 Juli 1968 ini lahir dari keprihatinan Gereja atas masalah kontrasepsi yang sedang berkembang pada waktu itu.

Sekitar tahun 1960-an terjadilah babak baru dalam bidang kontrasepsi. Selama ini alat kontrasepsi yang tersedia adalah kontrasepsi mekanik seperti kondom, diafragma, pembunuh sperma dan sebagainya yang dari cara memper-gunakannya sendiri jelas mempengaruhi jalannya hubungan seksual. Lalu pada tahun 1960-an pil diperkenalkan setelah diuji coba di Puerto Rico, Haiti, dan San Antonio (Texas) oleh Gregory Pincus pada tahun 1958. Banyak orang awam dan teolog berpendapat bahwa pil ini akan diterima oleh gereja sebab pil ini tidak mengubah cara hubungan seksual. Lagi pula pada waktu itu ajaran Gereja mengenai kontrasepsi juga sudah mendapat kritik tajam. Kritik itu berdasarkan 2 hal yang pokok: yang pertama mengatakan bahwa ajaran gereja mengenai kontrasepsi yang berdasarkan hukum alam itu terlalu fisikalistis dan legalistis di mana terlalu menitikberatkan kegunaan dan aktivitas organ-organ seksual secara biologis dan tidak memberikan tekanan yang memadai pada dimensi psikologis dan pengalaman dari hubungan seksual itu. Kritik yang ke dua ialah bahwa ajaran moral Gereja tentang kontrasepsi itu bukanlah ajaran yang fundamental meskipun sepanjang sejarah diajarkan bahwa kontrasepsi itu immoral. Ajaran gereja kuno mengenai kontrasepsi itu berasal dari kutukan gereja terhadap bidaah yang mengajarkan bahwa hidup dalam daging itu berdosa. Sekarang gereja sudah waktunya untuk melindungi ajarannya dengan cara yang lain dari pada cara seperti itu.

Pimpinan tertinggi gereja bukannya tidak sadar akan besarnya masalah kontrasepsi ini, maka Paus Yohanes XXIII pada bulan Maret 1963 membuat sebuah komisi yang bernama “Komisi kepausan untuk studi mengenai masalah-masalah keluarga, kependudukan dan kelahiran” dengan anggota 6 orang ahli: 3 teolog dan 3 scientist. Ketika Paus Yohanes XXIII meninggal, maka Paus Paulus VI pada tahun 1964 memperluas jumlah anggota komisi ini menjadi 70 orang yang terdiri dari awam, para ahli kependudukan, dokter, para ahli ilmu sosial, bapa-ibu keluarga, imam, uskup dan kardinal. Pada tahun 1966 komisi tidak mencapai kesepakatan mengenai masalah pokok kontrasepsi dan menyerahkan kepada Paus dua laporan yang berbeda satu sama lain: Laporan dari mayoritas anggota komisi menyarankan diadakannya perubahan terhadap ajaran mengenai kontrasepsi sedangkan laporan dari minoritas anggota komisi menyarankan supaya ajaran tradisional yang melarang segala macam bentuk kontrasepsi dipertahankan.

Dua tahun kemudian (25 Juli 1968), Paus Paulus VI menerbitkan ensiklik Humanae Vitae yang sebagian besar mengafirmasi apa yang telah diajarkan oleh Gereja selama ini mengenai kontrasepsi yakni melarang segala macam bentuk kontrasepsi. Argumen pokoknya ialah bahwa setiap persetubuhan harus tetap terbuka kepada adanya kehidupan baru. Ajaran ini berdasarkan pada kehendak Allah yang menghendaki supaya makna hubungan seksual yang unitif (menyatukan) dan prokreatif (terbuka pada keturunan) tidak dipisahkan. Manusia dari inisiatifnya sendiri tidak bisa memisahkan kedua makna hubungan seksual itu sebab hukum itu sudah terlukis di dalam diri setiap pria dan wanita. Kedua sifat hubungan seksual itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena hubungan seksual adalah bahasa tubuh untuk mengungkapkan cinta kasih antara suami istri. Cinta suami istri itu bukan hanya cinta badan dan juga bukan hanya cinta rohani, tetapi cinta manusia seutuhnya (total) yang melibatkan diri manusia di mana jiwa membadan dan badan menjiwa dalam kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Oleh karena itu pelanggaran terhadap hukum ini tidak bisa dibenarkan. Kontrasepsi dengan sengaja memisahkan makna hubungan seksual yang unitif dan prokreatif ini sebab oleh karena campur tangan manusia maka hubungan seksual itu menjadi tidak prokreatif.

Lebih lanjut dikatakan bahwa aborsi, sterilisasi langsung dan perbuatan baik sebelum dan sesudah hubungan seks yang menjadikan prokreasi tidak mungkin juga dilarang. “Penghentian langsung proses generatif yang sudah dimulai dan lebih-lebih aborsi yang secara langsung dikehendaki dan dijalankan, juga jika untuk alasan terapi, benar-benar tidak bisa digolongkan sebagai alat yang sah untuk mengatur kelahiran. Demikian pula ....sterilisasi langsung, baik sementara atau permanen, baik terhadap laki-laki atau perempuan. Demikan pula setiap perbuatan baik sebelum atau dalam pelaksanaan hubungan seksual atau dalam perkembangan konsekuensi naturalnya, yang menjadikan prokreasi tidak mungkin, entah sebagai tujuan maupun caranya.”

Akan tetapi alat-alat/tindakan yang mempunyai tujuan terapi, meskipun bisa mengakibatkan tidak bisa prokreasi, bisa dibenarkan. “Gereja, sebaliknya, sama sekali tidak memandang sebagai illicit penggunaan sarana-sarana terapeutik yang benar-benar diperlukan untuk menyembuhkan penyakit dari organisme (manusia) itu, juga jika seandainya hal itu merintangi prokreasi yang sudah bisa dilihat sebelumnya yang diakibatkan oleh tindakan itu, sejauh bahwa halangan itu tidaklah dimaksudkan secara langsung, entah dengan motif apapun juga."

Di Indonesia, ensiklik ini ditanggapi oleh MAWI yang mengeluarkan Surat Pastoral MAWI tahun 1972. Di dalamnya dikatakan bahwa penggunaan kontrasepsi diserahkan kepada masing-masing pasangan sesuai dengan suara hatinya masing-masing.

 

Sesudah HV

Berikutnya Ensiklik Familiaris Consortio dikeluarkan pada 22 November 1981 oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam nomor 30 ensiklik itu, Bapa Paus men-jelaskan tentang tendensi masyarakat modern yang punya kecenderungan bermental anti kehidupan serta menegaskan kembali martabat manusia yang luhur kendati secara badaniah ia miskin, cacat atau tak berdaya. Sedangkan dalam nomor 32 beliau menjelaskan bahwa martabat seksualitas manusia adalah sangat luhur dan tidak bisa dipisahkan dari kodratnya sebagai bagian integral pribadi manusia sesuai dengan sifat hubungan seksual yang unitif dan prokreatif.

Pada ulang tahun ke-30 pembukaan Konsili Vatikan II pada 11 Oktober 1992 diterbitkan Katekismus Gereja Katolik oleh Paus Yohanes Paulus II yang berisi pokok-pokok ajaran Gereja Katolik mengenai berbagai aspek kehidupan iman dan moral. Masalah kontrasepsi dibahas di dalamnya ketika membicarakan masalah keluarga pada nomor 2366 – 2370. Di antaranya dapat dibaca di sini:
“ Persatuan seksual yang menurut kodratnya mengungkapkan penyerahan diri secara timbal balik seutuhnya antara suami-istri itu dikaburkan dengan alat kontrasepsi dan menjadikannya isyarat yang secara obyektif ambivalen, artinya tidak menyerahkan diri seutuhnya. Tindakan itu tidak hanya membawa pada penolakan positif untuk terbuka bagi kehidupan, tetapi juga pada pemalsuan kebenaran inti cinta kasih suami-istri, yang diarahkan kepada penyerahan diri seutuhnya. Perbedaan antropologis dan moral antara kontrasepsi dan pemanfatan irama siklus, menyangkut dua paham pribadi manusia dan seksualitas manusiawi yang tidak dapat diselaraskan.”

Kemudian Ensiklik Evangelium Vitae dikeluarkan pada tanggal 25 Maret 1995 oleh Bapa Paus Yohanes Paulus II. Dalam nomor 13 dari ensiklik itu dikatakan antara lain:
“Hubungan yang erat yang secara mentalitas terjadi antara praktek kontrasepsi dan aborsi makin lama makin jelas. Hubungan itu bisa jelas terlihat secara menakutkan dengan perkembangan produk-produk bahan-bahan kimia, IUD dan vaksin, yang disebarluaskan dengan kemudahan yang sama dengan kontrasepsi, yang ternyata bersifat menggugurkan kandungan dalam tahap-tahap awal perkembangan hidup baru umat manusia.”
Dari ajaran-ajaran Gereja ini, jelaslah bahwa kontrasepsi itu ditolak oleh Gereja. Bagaimana dengan pengaturan kelahiran secara alamiah?

 

Pengaturan Kelahiran Alamiah

Dalam metode pengaturan kelahiran secara alamiah ini yang biasa disebut KBA kita hanya mempergunakan apa yang sudah ada dan disediakan oleh alam serta tidak memerlukan alat atau sarana tertentu untuk mengubah mekanisme atau kodrat tubuh manusia. Secara singkat metode ini mengajarkan kalau ingin mempunyai anak, maka mengadakan hubungan suami-istri pada masa subur, sedangkan kalau tidak ingin punya anak, maka jangan berhubungan seksual pada masa subur itu.

Oleh karena itu dalam metode ini, mengetahui masa subur perempuan, khususnya saat ovulasi menjadi sangat penting sekali, baik untuk mendapatkan anak atau bila tidak ingin punya anak. Hanya hubungan seks yang dilakukan pada masa subur yang memungkinkan terjadinya pembuahan. Ada beberapa cara untuk mengetahui masa subur itu, misalnya cara kalender, lendir kesuburan (mucus) dan suhu basal.

Hanya hubungan seks yang dilakukan pada masa subur ini yang akan menghasilkan anak sedangkan hubungan seks yang dilakukan pada masa tidak subur tidak akan menghasilkan anak. Mengapa tidak menghasilkan anak? Karena tidak ada ovum yang matang yang siap dibuahi. Ovum hanya hidup 24 jam saja sesudah ovulasi. Oleh karena tidak ada ovum yang matang maka tidak akan ada konsepsi (pembuahan). Maka pengaturan kelahiran alamiah (KBA) itu bukan kontrasepsi karena KBA itu tidak meniadakan konsepsi (= yang seharusnya ada menjadi tidak ada). Konsepsi memang tidak ada sehingga tidak perlu dilawan (kontrasepsi) ataupun ditiadakan.

Jadi metode alamiah bukan terletak pada memakai atau tidak memakai alat-alat tetapi pada kenyataan bahwa hubungan seks pada masa tidak subur itu memang tidak akan menghasilkan anak. Kita bisa membandingkan dengan coitus interuptus (sanggama terputus), meskipun tidak memakai alat, coitus interuptus tetap merupakan kontrasepsi dan tidak disetujui oleh Allah (bdk. Kejadian 38:8-10). Mengapa kontrasepsi? Karena dalam hubungan seks yang dilakukan pada masa subur dan melakukan coitus interuptus seharusnya terjadi pembuahan akan tetapi karena spermanya dibuang keluar maka tidak terjadi pembuahan. Dengan kata lain: Seharusnya ada pembuahan tetapi oleh karena coitus interuptus maka tidak terjadi pembuahan. Oleh karena itu, metode ini pun merupakan metode kontrasepsi.

Jadi KBA disetujui oleh Gereja bukan karena pertama-tama oleh karena tidak memakai alat/obat-obatan akan tetapi karena KBA itu bukan kontrasepsi.

 

Sumber: DR CB Kusmaryanto, SCJ. KB dalam perspektif Gereja Katolik: Kontrasepsi. Permasalahan dan Tantangan Pastoral Pendampingan Keluarga di Zaman Modern. Pertemuan Nasional Komisi Keluarga KWI, 28-31 Agustus 2008.
(dimuat dalam Buletin Perdhaki No. 4 Tahun XXXVII Triwulan II 2009)

No comments