Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam: Dia adalah raja yang melayani
Ditampilkan sebagai orang yang berbahaya baik bagi orang-orang Romawi
maupun Yahudi, Yesus, yang dihina, disiksa dan tak berdaya, dipaksa untuk
berdialog dengan Pilatus. Inti dari dialog ini adalah pertanyaan yang
ditanyakan oleh Pilatus: “Engkaukah raja orang Yahudi?” (Yoh 18:33).
YESUS:
SANG RAJA YANG MELAYANI
Bacaan Injil Yoh 18:33-37 yang dibacakan pada Hari Raya Kristus Raja Semesta
Alam (Tahun B/II) ini adalah salah satu dari sedikit teks yang mengisahkan bahwa Yesus Kristus menyatakan
diri sebagai Raja. Pernyataan diri Yesus ini terjadi dalam konteks kisah
Sengsara-Nya. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa sebelum Kisah Sengsara, Yesus
tidak membuat pernyataan tegas bahwa Ia adalah Raja. Setiap kali orang banyak
mau menjadikanNya raja, Yesus selalu menghindar. Setiap kali orang banyak ingin
memberitakan mukjizat-mukjizatNya yang sangat mengesankan, Yesus meminta dengan
sangat kepada mereka untuk diam. Hal yang sama juga terjadi setelah
Transfigurasi, di mana Yesus menampakkan kemuliaan-Nya di Gunung Tabor.
Dan sekarang, ketika Ia sedang terbelenggu, diadili, disiksa, Yesus
mengakui bahwa Ia adalah Raja! Justru di saat penampilannya, setidaknya dalam
pandangan manusia, benar-benar jauh dari mengesankan, Yesus menyatakan bahwa Ia
adalah Raja! Dengan demikian, untuk memahami ke-Raja-an Yesus, kita perlu
mengubah pemahaman kita tentang raja. Ingatlah apa yang dikatakan Yesus kepada
pada murid-Nya: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa
memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan
kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di
antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,
dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah
ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi
tebusan bagi banyak orang.” (Mrk 10:42-45)
Peristiwa interogasi Pilatus pada Yesus yang dikisahkan Yohanes mau
mengatakan kepada kita bahwa Yesus Kristus menjadi Raja seluruh umat manusia justru
pada saat Ia memberikan hidup-Nya untuk mereka. Sang Raja ini tidak memiliki
ambisi lain selain melayani.
KERAJAAN KEBENARAN
Dalam interogasi Pilatus pada Yesus, terjadilah perjumpaan antara
perwakilan Kekaisaran Romawi dan seorang yang dijatuhi hukuman mati. Dalam peristiwa
ini, penguasa Romawilah yang mengakui bahwa Sang Raja sejati adalah Yesus
Kristus. Ketika Pilatus berkata kepada Yesus: “Jadi Engkau adalah raja?”, Yesus
menjawab, “Seperti yang kau katakan, Aku adalah raja” (Yoh 18:37a). Artinya, Pilatus
sendiri memahami dan mengatakan bahwa Yesus adalah raja.
Namun demikian, Kerajaan Yesus tidak ada hubungannya dengan
kerajaan-kerajaan di bumi ini: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini! Jika
kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku sudah melawan supaya Aku
jangan diserahkan kepada orang Yahudi” (Yoh 18:36). Kerajaan Yesus adalah
Kerajaan Kebenaran. “Untuk itulah Aku lahir, dan untuk itulah Aku datang ke
dunia ini, yakni untuk memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang
berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku” (Yoh 18:37b). Dalam pembacaan
kedua hari Minggu ini, Yohanes mengatakan bahwa Yesus adalah “saksi yang setia”
(Why 1:5). Dia adalah “Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”
(Yoh 1:14).
Pilatus yang dibentuk dalam alam pikir dunia Yunani-Romawi pun bertanya “Apakah kebenaran itu?” (Yoh
18:38a). Berkebalikan dengan Pilatus, pemahaman Jemaat Perdana akan kebenaran
dibentuk oleh kesaksian biblis bahwa kebenaran adalah Allah sendiri. Kata “kebenaran”
dalam arti alkitabiah berarti “kesetiaan yang kuat” dari Allah; dalam bahasa
Ibrani, kata itu memiliki akar yang sama dengan kata “AMIN” yang berarti teguh,
abadi, setia, benar (bdk. Mzm 93).
Justru karena kebenaran adalah Allah Sendiri, tak seorang pun bisa
mengklaim memiliki kebenaran! Justru kebenaranlah yang memiliki kita, bukannya
kita yang memiliki kebenaran. Kita bisa menghindarkan pertengkaran dan bahkan
peperangan dari antara manusia jika kita sungguh memahami fakta bahwa kita
tidak bisa memiliki kebenaran! Satu-satunya hal yang penting adalah kita
mendengarkan dan membiarkan diri kita diajar oleh kebenaran.
MENYERAHKAN
DIRI KEPADA KEBENARAN
“Setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku,” kata
Yesus kepada Pilatus (Yoh 18:37b). Kata-kata ini menggemakan lagi apa yang
sebelumnya dikatakan Yesus kepada orang-orang Yahudi : “Barangsiapa berasal
dari Allah, ia mendengarkan firman Allah; itulah sebabnya kamu tidak
mendengarkannya, karena kamu tidak berasal dari Allah” (Yoh 8:47). Hanya Allah
sajalah yang bisa mengatakan kepada kita “Dengarlah”. Sebagaimana diungkapkan
dalam pengakuan iman Yahudi yang diajarkan oleh Taurat, Allah sendirilah yang
berkata: “Dengarlah hal orang Israel!” (Ul 6:4). Maka perkataan Yesus mengenai ‘mendengarkan’
merupakan salah satu cara pewahyuan diri-Nya sebagai Allah. Peristiwa
Pembaptisan Yesus di Sungai Yordan dan Transfigurasi-Nya di Gunung Tabor, di
mana terdengar suara dari surga yang mengatakan “Dengarkanlah dia”, juga
merupakan pewahyuan keilahian Yesus. Pilatus tidak memahami semua makna ini,
namun jemaat perdana yang menjadi tujuan penulisan Injil Yohanes memahami makna
yang tersirat ini. Karenanya Pilatus tetap bertanya-tanya : “Apakah kebenaran
itu?” (Yoh 18:38a). Jelaslah bahwa ia kehilangan kesempatan untuk menemukan
Tuhan: dia mencoba memahami kebenaran dengan akal budi semata, dan bukannya
menyerahkan diri dan percaya kepada Sang Kebenaran, yaitu Allah sendiri.
Seluruh Injil Yohanes mengisahkan dilema yang dialami setiap manusia untuk “percaya
atau tidak percaya”. Marta telah membuat pilihan yang tepat, yaitu kerendahan
hati dan kepercayaan: “Ya Tuhan, Aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak
Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia” (Yoh 11:27). Mengapa Marta, seorang
perempuan sederhana dari Yudea, memiliki akses terhadap kebenaran ini? Dan
mengapa justru bukan Pilatus? Pilatus memang tidak jauh dari kebenaran, Yesus
sendiri menunjukkan bahwa Pilatus hampir mendekati kebenaran: “Seperti yang
kaukatakan, Aku adalah raja” (Yoh 18:37a). Apa yang kurang dari Pilatus? Satu
hal yang kurang dari Pilatus, yaitu bahwa ia berusaha untuk memegang dan
memiliki kebenaran bagi dirinya sendiri. Padahal, kita tidak bisa memiliki
kebenaran, justru kebenaranlah yang memiliki kita.
Pewahyuan diri Yesus sebagai Raja mengundang kita untuk membuka diri
terhadap Dia yang, melalui kehidupan dan pribadi-Nya, adalah Sang Kebenaran itu
sendiri : “Akulah jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Yesus Kristus memang
seorang Raja, tapi Ia bukanlah Raja seperti yang lain. Lahir di palungan, ia
tidak tinggal di istana, dan justru di punggung keledailah Ia disambut sebagai
Raja. Ia adalah Raja yang melayani, yang tidak memiliki hukum lain selain hukum
cinta kasih, dan Ia pun tidak memiliki tata pengadilan lain selain suara hati
nurani. Mottonya: “Aku datang bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani”.
Dengan demikian, melalui Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini, Gereja
menyatakan kepada dunia dan kepada kita masing-masing tentang bagaimana
semestinya menjalankan kekuasaan. Baik kuasa politik atau religius, kebenaran
kekuasaan terletak pada pemenuhan tanggung jawabnya dan dalam tugas
pelayanannya. Selain itu, melalui pembaptisan, setiap orang Kristen berpartisipasi
dalam perutusan Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Untuk memenuhi panggilan
dasar identitas kita sebagai pengikut Kristus ini, kita diundang Tuhan untuk
menjadi pelayan bagi semua orang, untuk melayani orang yang miskin dan yang
lemah, untuk menjadi adil dan penuh belas kasihan.
(Rm. D. Dimas Danang A.W.)
No comments