Latest News

'

Pertemuan 3: Dialog dengan Agama Lain (Kis 17:16-34)


16 Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala. 17 Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ. 18 Juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa berdebat dengan dia dan ada yang berkata, "Apa yang hendak dikatakan si pembual ini?" Tetapi yang lain berkata, "Rupa-rupanya ia pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan kebangkitan-Nya. 19 Lalu mereka membawanya menghadap sidang Areopagus dan mengatakan, "Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kauajarkan ini? 20 Sebab engkau memperdengarkan kepada kami hal-hal yang asing. Karena itu kami ingin tahu apa artinya semua itu."
21 Adapun semua orang Atena dan orang asing yang tinggal di situ tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru.22 Paulus berdiri di hadapan sidang Areopagus dan berkata, "Hai orang-orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.23 Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.24 Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak tinggal dalam kuil-kuil buatan tangan manusia,25 dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan napas dan segala sesuatu kepada semua orang.26 Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka,27 supaya mereka mencari Allah dan mudah-mudahan mencari-cari dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing.28 Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini keturunan-Nya juga.29 Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir bahwa keadaan ilahi serupa dengan emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia.30 Tanpa memandang lagi zaman kebodohan, sekarang Allah memerintahkan semua orang di mana saja untuk bertobat.31 Karena Ia telah menetapkan suatu hari ketika Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu jaminan tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati."
32 Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, maka ada yang mengejek, dan yang lain berkata, "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu."33 Lalu Paulus meninggalkan mereka.34 Tetapi beberapa orang menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus, dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan mereka.

Pendalaman Teks

Kis 17:16-34 yang diberi judul Paulus di Atena, kiranya menawarkan inspirasi segar mengenai bagaimana pewartaan kepada bangsa-bangsa lain bisa dilaksanakan. Seperti dikatakan dalam judul, perikop ini berkisah tentang Paulus yang mewartakan Kristus di Atena. Atena boleh dibilang adalah pusat kebudayaan Yunani. Oleh karena itu, karya pewartaan Paulus di Atena sungguh merupakan sesuatu yang amat penting. Karya Paulus di Atena adalah puncak karya kerasulannya di dunia non-Yahudi. Saat dia berada di Areopagus, kita merasakan ketegangan bagaimana alam fikir Yunani bertemu dengan kebijaksanaan dari timur, dari Yerusalem, yaitu berita gembira tentang seorang bernama Yesus yang mati dan bangkit lagi.

Kisah Paulus di Atena dibuka dengan sebuah pernyataan yang khas, “Sementara Paulus menantikan mereka di Atena, sangat sedih hatinya karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala” (Kis 17:16). Karakteristik kota Atena sudah ditampilkan pada awal kisah: kota ini penuh dengan berhala. Tetapi sekaligus ditunjukkan bahwa itulah konteks yang harus dihadapi Paulus dalam mewartakan Kabar Sukacita tentang Yesus.

Kemudian digambarkan bagaimana Paulus menjalankan karya pewartaannya. Sebenarnya, saat di Atena pun, Paulus memainkan strategi klasik pewartaannya, yaitu mengunjungi sinagoga Yahudi dan bersoal jawab dengan orang-orang Yahudi dan ‘mereka yang takut akan Allah. Mungkin ini terjadi pada hari Sabat. Selain itu ia juga mengunjungi pasar (agora) dan berdiskusi dengan setiap orang yang dijumpainya di sana (Kis 17:17). Hanya saja, di Atena ini pewartaan di sinagoga tidak mendapat sorotan sama sekali; hanya disebut sepintas saja, tidak seperti yang terjadi di Tesalonika atau di Berea dan beberapa tempat lainnya. Karena memang yang menjadi pusat kali ini adalah pewartaan ke dunia non-Yahudi yang diwakili oleh Atena. Hal ini menjadi jelas karena oposisi atau komentar yang muncul tidak berasal dari kelompok Yahudi, tetapi dari para filosof yang disebut golongan Epikuros dan Stoa (17:18). Di Atena Paulus tidak berhadapan dengan orang-orang yang siap menanggapinya secara teologis, tetapi dengan orang-orang yang akan menyanggahnya dari segi filosofis. Mereka adalah orang-orang yang “tidak mempunyai waktu untuk sesuatu selain untuk mengatakan atau mendengar segala sesuatu yang baru” (Kis 17:21). Di sini argumen-argumen biblis-teologis tidak akan berjalan karena tidak ada titik berangkat yang sama.

Ini kelihatan kalau kita mendengar komentar mereka, “Rupa-rupanya ia pemberita ajaran dewa-dewa asing.” Sebab ia memberitakan Injil tentang Yesus dan kebangkitan-Nya” (Kis 17:18). Paulus dianggap mau mewartakan dan menambahkan dewa-dewa asing yang baru ke dalam khazanah dewa-dewi Atena, yaitu “Yesus dan kebangkitan-Nya.” Menarik memperhatikan salah paham yang terjadi di sini. Kata “kebangkitan” dalam bahasa Yunani adalah he anastasis yang bergenus feminin. Rupanya orang Atena tidak memahami kata tersebut sebagai kata benda, tetapi sebagai nama diri atau nama seorang dewi yang menjadi pasangan dewa yang bernama Yesus. Karena kesalahpahaman ini, maka Paulus dianggap mewartakan “dewa-dewa asing” (plural), yaitu Yesus dan “Anastasis.” Yesus mungkin mereka kenal, tetapi “kebangkitan” tampaknya benar-benar asing bagi mereka. Situasi ini menggambarkan dengan amat jelas situasi macam apa yang dihadapi oleh Paulus.


Pewartaan Paulus tampaknya sungguh-sungguh membingungkan mereka yang mendengarnya. Mereka menyebutnya “perkara-perkara aneh.” Akhirnya mereka membawanya ke hadapan sidang Areopagus. Areopagus tampaknya berasal dari kata Areios + pagus yang berarti “bukit Ares” yaitu Dewa Perang Yunani. Areopagus bisa berarti sebuah tempat terbuka di mana orang bisa berbicara dengan tenang; tetapi juga bisa berarti semacam dewan yang mengambil nama bukit itu sebagai nama. Tidak amat jelas apa fungsi dewan ini dan mengapa Paulus harus dibawa ke sidang tersebut. Apakah ini suatu acara tukar pendapat dalam suasana yang cukup bersahabat mengingat orang-orang Atena mempunyai keingintahuan yang tinggi? Atau sebuah pengadilan? Sulit untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh Lukas. Biarkan saja demikian. Bagi kita juga tidak terlalu penting apa yang sebenarnya dimaksudkan. Isi dari pidato Paulus itu yang jauh lebih penting bagi kita. Setidaknya, ada dua poin yang bisa kita teliti sehubungan dengan pidato Paulus.

1. Kepada Allah yang tidak dikenal
Paulus mengawali pidatonya dengan kata-kata yang menarik, seperti berikut ini, “Hai orang-orang Atena, aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa” (Kis 17:22). Dengan kata-kata ini, Paulus menunjukkan penghargaan yang tinggi kepada penduduk Atena yang dianggapnya amat religius (“sangat beribadah kepada dewa-dewa”). Kemudian ia melanjutkan, “Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (Kis 17:23). Bagian ini merupakan bagian yang paling penting. Di antara patung-patung dan hal-hal lain di kota Atena, secara khusus Paulus menyebut sebuah mezbah yang bertuliskan “Kepada Allah yang tidak dikenal.”

Dalam agama Yunani kuno, selain dua belas dewa utama dan sejumlah dewa-dewa yang lebih rendah tingkatannya, rupanya masih ada tempat juga bagi satu ilah yang disebut “Allah yang tidak dikenal.” Mungkin ada ketakutan kalau-kalau masih ada dewa yang terlewatkan tidak dihormati sehingga tidak mendapatkan persembahan, dan ini bisa berbahaya. Maka untuk menanggulangi masalah ini, dibuatlah suatu mezbah untuk “Allah” yang merangkum segalanya, yaitu “Allah yang tidak dikenal.” Di sini tidak perlu didiskusikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan ungkapan seperti itu. Mungkin bisa dipikirkan demikian: Di satu pihak, diyakini bahwa masih ada dewa lain selain yang sudah dikenal; tetapi di lain pihak, nama atau karakternya belum dinyatakan kepada orang-orang Atena, sehingga mereka tidak mengenalnya.

Pokok ini merupakan celah masuk bagi Paulus. Dan dengan brilian Paulus memanfaatkannya untuk mewartakan injilnya. “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.” Paulus membuat identifikasi dengan memanfaatkan “ketidaktahuan” mereka. Kami tahu yang kalian tidak tahu! Kami punya yang sebenarnya kalian cari tanpa tahu kemana harus mencari! Dengan demikian menjadi jelas bahwa sebenarnya Paulus tidak mewartakan sesuatu yang sama sekali baru, yang asing bagi pendengarnya. Dia hanya memberi nama pada, atau boleh juga memaknai, kerinduan atau pengharapan yang sudah ada dalam diri masing-masing orang Atena. Titik tolak pewartaan Paulus adalah kesalehan orang-orang Atena sendiri, bukan sesuatu yang berasal dari luar, tetapi dari dalam diri mereka.

Bisa dibayangkan bahwa pembukaan seperti ini menjadi sesuatu yang menarik dan menimbulkan keingintahuan bagi orang-orang Atena: bagaimana kelanjutan pembicaraan Paulus ini? Pembukaan ini menjadi semacam tema yang kemudian diuraikan secara panjang lebar pada bagian berikutnya.

2. Kisah Alkitab yang Tersembunyi
Untuk bagian ini, silakan memperhatikan dengan teliti bagian khotbah Paulus yang terdapat dalam ay. 23-31. Seperti bisa dilihat,khotbah yang disampaikan Paulus sebenarnya adalah gambaran lebih lanjut tentang “Allah yang tidak dikenal” itu. Tanpa masuk pada detil-detil analisis teks, bisa dikatakan bahwa setidak-tidaknya ada 2 (dua) hal yang menarik untuk diperhatikan.

Pertama, di sini Paulus menyampaikan inti pewartaannya dalam bahasa yang khas. Dari teks di atas, tampak bahwa tidak ada rujukan secara eksplisit dari Perjanjian Lama sebagai teks yang otoritatif. Mengapa demikian? Karena sekarang ini Paulus sedang berhadapan dengan orang-orang Atena yang tidak menerima otoritas teks suci Ibrani. Hal ini berbeda saat Paulus berhadapan dengan orang-orang Yahudi. Dengan orang-orang Atena tidak ada gunanya menggunakan argumen alkitabiah.

Kendati demikian, walaupun Paulus tidak secara eksplisit merujuk pada Perjanjian Lama, kita bisa merasakan bahwa pewartaan Paulus ini sebenarnya berlatar belakang teologi Perjanjian Lama. Pada ay. 24 kita mendengar gema dari kisah penciptaan seperti yang terdapat dalam Kej 1-2. Ay. 26 mungkin berlatar belakang janji TUHAN kepada Abraham yang akan memberikan keturunan kepadanya (bdk. Kej 12:1-3 passim). Gagasan bahwa Allah membuat manusia mendiami seluruh muka bumi serta menentukan batas-batas kediaman mereka (ay. 25-26), rasanya mirip dengan yang terdapat dalam Ul 32:8 “Ketika Sang Mahatinggi membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel.” Allah yang tidak tinggal di dalam kuil-kuil buatan tangan manusia dan tidak dilayani oleh tangan manusia (ay. 24-25) tampaknya berlatar belakang 1Raj 8:27 atau Yes 42:5 atau Yes 66:1-2. Ay. 31 yang berbicara tentang seseorang yang akan diutus Allah untuk mengadili dunia mungkin berlatar belakang Dan 7:13-14 yaitu Anak Manusia yang memperoleh kuasa atas dunia.

Dengan demikian rasanya tidak perlu diragukan bahwa Paulus memang sedang mewartakan sejarah keselamatan seperti ditemukan di dalam teks suci Ibrani, yaitu Perjanjian Lama kita. Menariknya adalah bahwa dalam pemaparan ini tidak satupun Paulus menyebut secara eksplisit teks dari kitab sucinya. Alkitab Ibrani tetap tersembunyi di balik kata-kata Paulus, tetapi tampil dalam bentuk yang agak berbeda. Di Atena ini Paulus sedang mewartakan kisah alkitab yang tersembunyi.

Kedua, Paulus tidak menyinggung secara eksplisit teks suci Ibrani, tetapi sebaliknya dia bahkan secara eksplisit mengutip ungkapan seorang pujangga Yunani. Pada ay. 28 “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu:  Sebab kita ini keturunan-Nya juga.” Kutipan ini berasal dari kata-kata seorang penyair dari aliran Stoa yang bernama Aratus (lahir di Kilikia tahun 315 SM) yang terdapat dalam karyanya Phaenomena, 5. Orang juga berpikir bahwa seorang filosof Stoa yang lain, Cleanthes juga mengutarakan gagasannya dengan rumusan yang hampir sama (Hymn to Zeus, 4).

Ini strategi hebat dari Paulus. Tampaknya Paulus cukup mengetahui kekayaan tradisi filsafat Yunani dan bisa memanfaatkannya dengan baik dengan menjadikannya dasar pewartaannya. Dengan demikian ia mau menunjukkan bahwa pesan yang dia bawa sebenarnya - sekali lagi - tidak asing atau bertentangan dengan tradisi orang-orang Atena yang kaya.

Memang harus diakui bahwa pidato Paulus di hadapan Areopagus masih belum sampai pada inti kekristenan, yaitu salib dan kebangkitan Kristus. Pada ayat terakhir pidatonya (ay. 31) Paulus memang mencoba berbicara tentang Allah yang membangkitkan Yesus dari orang mati. Dan begitu sampai pada kata “kebangkitan orang mati”, hadirin langsung berkomentar, “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu” (Kis 17:32). (Tetapi perhatikanlah bahwa di akhir kisah diceritakan bahwa beberapa orang menjadi percaya juga; bdk. ay 34). Sekali lagi, gagasan tentang kebangkitan orang mati tampaknya asing bagi orang-orang Atena. Beberapa abad sebelumnya, seorang penyair tragedi bernama Aeschylus pernah mengatakan lewat tokohnya Apollo, “Ketika debu menyerap habis darah seseorang, maka sekali dia mati, tak ada lagi kebangkitan” (Eumenides, 647-648). Untuk dunia Yunani, mungkin gagasan “kebakaan jiwa” lebih cocok, tetapi bukan kebangkitan dari antara orang mati.

Kendati tidak lengkap, rasanya pewartaan Paulus sudah menunjukkan suatu strategi yang amat lihai. Persoalan salib dan kebangkitan memang merupakan soal yang paling sulit dalam tradisi kekristenan. Paulus sendiri sudah mengatakan bahwa salib “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1Kor 1:23).

Kita tidak tahu pasti bagaimana hasil karya misi Paulus di Atena. Kita tidak mempunyai surat Paulus kepada jemaat di Atena. Tetapi yang penting bagi kita adalah strategi Paulus ketika berhadapan dengan orang-orang Atena yang menjadi, katakanlah, pusat dunia non-Yahudi. Paulus mencoba mewartakan Kristus sebagai jawaban atas kerinduan dan pengharapan orang-orang Atena.

***

Dalam hal religius, Asia merupakan locus yang istimewa. Asia boleh dibilang sebagai rahim agama-agama besar di dunia. Kekristenan sendiri lahir di Asia, tetapi kemudian seiring dengan pergerakan misionaris-misionaris pertama, kekristenan bergerak ke arah barat dan mendapatkan Roma sebagai pusat. Baru setelah berabad-abad berlalu, kekristenan kembali lagi ke Asia, dengan wajah yang tentu saja sudah berbeda. Berkaitan dengan ini ada dua catatan yang patut dipertimbangkan saat kita merenungkan karya pewartaan Injil di Asia.

Yang pertama, perjalanan misi ke Asia dalam banyak kasus terjadi dengan membonceng kaum kolonial Eropa, seperti misalnya Spanyol, Portugal, Inggris, dan Belanda. Akibatnya, kekristenan sendiri seringkali dicurigai sebagai agama kaum penjajah. Kedua, negara-negara besar praktis sudah dikuasai oleh beberapa agama besar, misalnya Hindu di India, Muslim di Bangladesh, Indonesia, Malaysia, dan Pakistan; Buddha di Kambodia, Hongkong, Laos, Mongolia, Myanmar, Singapura, Korea Selatan. Hanya di Filipina kekristenan menjadi mayoritas. Situasi ini menjadi tantangan khusus bagi Gereja dalam tugas perutusannya mewartakan Injil.

Fakta ini perlahan-lahan menyadarkan Gereja bahwa secara manusiawi tidak masuk akal mengharapkan bahwa pernah seluruh bangsa dan masyarakat di bumi akan masuk ke dalam Gereja. rasanya Gereja akan tetap menjadi “kawanan kecil” saja (Luk 12:32). Kesadaran baru ini pelan-pelan mengubah sikap Gereja Katolik terhadap agama-agama lain, Tidak mungkin agama-agama itu – yang terbesar di antaranya adalah agama Islam, Buddha, Hindu, dan Kongfutsu - dianggap sebagai semacam sisa umat manusia yang belum kristiani[1].

Dalam situasi seperti ini, dialog antaragama merupakan salah satu alternatif niscaya yang tersedia. Orang tidak bisa hidup tanpa berdialog dan kerja sama dengan orang lain. Tugas utama orang Kristen adalah mewartakan dan memberi kesaksian akan Kerajaan Allah, sebagaimana dibuat oleh Yesus Kristus dalam karya publik-Nya, dan bukan pertama-tama memperluas keanggotaan dan pengaruh melalui pembaptisan baru[2]. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa dalam dialog dengan agama-agama tersebut ditemukan benih-benih Sabda (FABC 1974 no. 16) melalui pengharapan atau keprihatinan yang terdapat dalam tradisi-tradisi religius yang ditemui.

Sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II, pada tahun 1984 Dewan Kepausan untuk Dialog Antar-agamamengeluarkan sebuah dokumen tentang refleksi dan orientasi atas Dialogue and Mission. Dalam dokumen tersebut, disebutkan empat model dialog antar-agama:
  1. Dialog Kehidupan (Dialogue of Life) : Dialog dipahami sebagai sebuah gaya hidup yang mencakup sikap perhatian, penghargaan, serta hospitalitas orang lain. Sikap seperti inilah yang mesti dibawa oleh setiap orang Katolik dalam hidup kesehariannya, entah sebagai minoritas atau mayoritas.
  2. Dialog Karya (Dialogue of Deeds) : Dialog dalam bentuk kerjasama dengan pihak lain dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi yang terarah pada kemajuan dan pembebasan manusia.
  3. Dialog Para Spesialis (Dialogue of Specialist) : Sesuai dengan namanya, dialog model ini melibatkan para ahli dalam bidang tertentu, dari agama masing-masing. Mereka berusaha mendalami dan pengertian untuk mencapai pemahaman dan saling penghargaan bersama akan warisan rohani dan budaya dari masing-masing tradisi religius.
  4. Dialog Pengalaman Religius (Dialogue of Religious Experience) : Pada level ini masing-masing yang sudah terakar kuat pada tradisi religiusnya mampu membagikan pengalaman mereka dalam doa, iman, serta ungkapan iman mereka.

Dari empat model dialog di atas, dialog model kedua, yaitu dialog karya, yang rasanya mempunyai kesempatan cukup luas untuk dilaksanakan pada konteks zaman sekarang ini.


Diambil dari Gagasan Pendukung BKSN 2018 “MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA DALAM KEMAJEMUKAN”, tulisan Dr. V. Indra Sanjaya, Pr (hlm 31-38)

[1] Franz Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristus (Obor, Jakarta 2004) 124.
[2] Phan, Christianities in Asia, 257.

No comments