Latest News

'

Latar Belakang Kekerasan pada Anak


Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah : 1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi ini kemudian menyebabkan kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua, 2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi, 3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi, 4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.

Disamping itu, faktor penyebab Kekerasan pada Anak yakni terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan (Tempo, 2006).

Menurut Sitohang (2004), penyebab munculnya kekerasan pada anak adalah a) Stress berasal dari anak. Yaitu, kondisi anak yang berbeda, mental yang berbeda atau anak adalah anak angkat, b) Stress keluarga. Yaitu, kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi, perumahan tidak memadai, anak yang tidak diharapkan dan lain sebagainya, c) Stress berasal dari orang tua. Rendah diri, Waktu kecil mendapat perlakuan salah, Depresi, Harapan pada anak yang tidak realistis, Kelainan karakter/gangguan jiwa.

Sitohang (2004) melihat ketiga hal tersebut adalah situasi awal atau kondisi pencetus munculnya kekerasan pada anak. Pada gilirannya kondisi tersebut berlanjut pada perilaku yang salah orang tua terhadap anaknya. Contohnya, penganiayaan dan teror mental.

Unicef (1986) mengemukakan ada dua faktor yang melatarbelakangi munculnya kekerasan anak oleh orang tuanya. Faktor tersebut masing-masing berasal baik dari orang tua maupun anak sendiri. Dua faktor tersebut antara lain; a) Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya penuh sters, seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan keperibadian. b) Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.

Rakhmat (2003) beranggapan kekerasan pada anak-anak bukan hanya merupakan problem personal. Jika hanya menimpa segelintir anak-anak saja, dapat dilacak pada sebab-sebab psikologis dari individu yang terlibat. Pemecahannya juga dapat dilakukan secara individual. Memberikan terapi psikologis pada baik pelaku maupun korban mungkin akan cepat selesai.

Tetapi jika perilaku memperkerjakan anak kecil dalam waktu yang panjang, menelantarkan mereka, atau menyakiti dan menyiksa anak itu terdapat secara meluas di tengah-tengah masyarakat maka berhadapan dengan masalah sosial. Penyebabnya tidak boleh lagi dilacak pada sebab-sebab individual. Melacaknya pada nilai, pola interaksi sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial. Pemecahannya memerlukan tindakan kolektif dari seluruh anggota masyarakat.

Lebih lanjut Rakhmat (2003) membagi faktor sosial penyebab kekerasan terhadap anak antara lain:
1) Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya;
2) Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru. Orangtua tentu saja wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun, sedangkan orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak;
3) Ketimpangan sosial. Banyak ditemukan bahwa para pelaku dan juga korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yeng tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensisitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional.

Kekerasan tersebut diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya, memerlukan proses pendidikan yang terus menerus untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokratis dan penghargaan pada hak-hak anak-anak, berusaha menegakkan undang-undang yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang dewasa dan membangun lembaga-lembaga advokasi anak-anak.



Artikel Latar Belakang Kekerasan pada Anak pertama kali diterbitkan duniapsikologi pada 27 November 2008.







No comments