Latest News

'

Sosok Prodiakon Sebagai Pemuka Umat

“Kepada Titus, anakku yang sah menurut iman kita bersama: kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Juruselamat kita, menyertai engkau. Aku telah meninggalkan engkau di Kreta dengan maksud ini, supaya engkau mengatur apa yang masih perlu diatur dan supaya engkau menetapkan penatua-penatua di setiap kota, seperti yang telah kupesankan kepadamu, yakni orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib. Sebab sebagai pengatur rumah Allah seorang penilik jemaat harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya “(Tit1:4-9)

Ketika kami menyebut kata ‘prodiakon’ kepada para tamu dari Karya Misioner Jerman, maka mereka menanyakan apa itu ‘prodiakon’. Maklum di dalam hukum Gereja tidak ada istilah tersebut, maka kami menjawab dengan singkat :”Prodiakon artinya pendukung diakon, bertugas melaksanakan pekerjaan-pekerjaan diakon kecuali dalam memberi berkat”. Pendukung diakon berarti bukan diakon, namun diharapkan mendukung cara hidup dan cara bertindak para klerus (imam dan diakon) untuk “mengejar kesucian dengan alasan khusus, yakni karena mereka telah dibaktikan kepada Allah dengan dasar baru dalam penerimaan tahbisan menjadi pembagi misteri-misteri Allah dalam mengabdi umatNya” (KHK kan 276).

“Agar mereka mampu mengejar kesempurnaan ini:

  • hendaknya pertama-tama mereka menjalankan tugas-tugas pelayanan pastoral dengan setia dan tanpa kenal lelah.

  • hendaknya mereka memupuk hidup rohani…..

  • hendaknya meluangkan waktu untuk latihan rohani…



  • dihimbau untuk melakukan doa batin secara teratur, sering menerima sakramen tobat, berbakti kepada Perawan Bunda Allah dengan penghormatan khusus, dan memanfaatkan sarana-sarana pengudusan yang umum dan khusus lain” (lihat KHK kan 276 $ 2)


Dalam praksis saat ini tugas-tugas yang dikerjakan oleh prodiakon antara lain: memimpin ibadat-ibadat, menerimakan komuni di gereja maupun kepada mereka yang sakit. Hemat saya agar tugas-tugas ini tidak hanya dikerjakan secara yuridis atau formalitas belaka alias tanpa penghayatan, maka cara hidup prodiakon rasanya diharapkan sebagaimana dikatakan oleh Paulus dalam suratnya kepada Titus maupun Kitab Hukum Kanonik seperti kami kutipkan di atas. Maka baiklah di bawah ini saya mencoba secara sederhana menguraikan harapan-harapan di atas.

“Orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib”

Kutipan di atas ini kiranya merupakan ajakan atau peringatan untuk membina hidup berkeluarga yang baik, sesuai dengan janji perkawinan yang pernah diikhrarkan bersama, yaitu: “saling setia dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, di waktu sehat maupun sakit tetap mau mencintai, melindungi dan menghormati sepanjang hidup, serta menjadi bapak-ibu yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan/dianugerahkan Tuhan”. Tanda bahwa suami-isteri sungguh menjadi pasangan berbahagia serta bapak-ibu yang baik antara lain anak-anak yang dianugerahkan kepada mereka sungguh hidup beriman dan tertib atau cerdas beriman. “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” (Mat12:33). Dengan kata lain masalah pendidikan anak penting kita perhatikan.Dalam rangka mendidik anak, di bawah ini saya kutipkan 12 Hukum Rimm, kiranya dapat menjadi bahan acuan untuk mawas diri:

“Hukum Rimm tentang Prestasi

  • Anak-anak lebih cenderung berprestasi jika para orangtua mereka bekerja sama dalam memberi pesan yang jelas dan positif yang seragam tentang bagaimana seharusnya mereka belajar dan apa harapan-harapan orangtuanya terhadap mereka.

  • Anak-anak dapat mempelajari perilaku yang baik dan pantas dengan lebih mudah jika mereka memiliki teladan-teladan efektif untuk ditiru

  • Pendapat yang dikatakan oleh orang-orang dewasa kepada satu sama lain tentang seorang anak yang didengar oleh anak itu, sangat berdampak pada perilaku dan cara anak itu memandang dirinya.

  • Jika orangtua memberi reaksi berlebihan terhadap keberhasilan dan kegagalan anak-anaknya, anak-anak itu akan cenderung mengalami tekanan batian yang kuat karena mereka berusaha mati-matian untuk berhasil. Mereka juga akan mengalami keputusasaan dan kekecewaan jika mengalami kegagalan.

  • Anak-anak merasakan lebih banyak ketegangan sewaktu mereka mengkhawatirkan pekerjaan daripada saat mereka melakukan pekerjaan itu.

  • Anak-anak mengembangkan rasa percaya diri melalui suatu proses

  • Kekurangan dan kelebihan sering menunjukkan gejala-gejala yang sama

  • Anak-anak mengembangkan rasa percaya diri dan rasa penguasaan diri internal jika mereka diberi wewenang, dalam porsi yang lambat laun semakin besar, selama mereka menunjukkan kedewasaan dan tanggungjawab.

  • Anak-anak akan menjadi pemberontak jika satu orang dewasa bergabung dengan mereka melawan seorang orang tua atau guru, karena hal itu membuat mereka merasa lebih berkuasa dari orang dewasa.

  • Orang-orang dewasa seharusnya menghindari konfrontasi dengan anak-anak kecuali jika mereka cukup yakin dapat menguasai akibatnya.

  • Anak-anak akan berprestasi hanya jika mereka mau ikut serta dalam kompetisi.

  • Biasanya anak-anak akan terus berprestasi jika mereka melihat hubungan antara proses belajar dan hasil-hasilnya” (Dr.Sylvia Rimm, Mengapa Anak Pintar Memperoleh Nilai Buruk, PT Grasindo Jakarta 1997, hal xxi-xxii).


Menurut hemat saya anak-anak harus lebih berhasil, suskses, pandai/cerdas, suci/beriman dst.. daripada orangtua atau bapak-ibunya, sebagai tanda bahwa suami-isteri sungguh saling mengasihi dan mendidik anak-anak dengan baik. Jika yang terjadi anak-anak tumbuh berkembang menjadi tidak baik atau kurang ajar, hemat saya yang lebih dahulu tidak baik dan kurang ajar adalah orangtua atau bapak-ibunya. Ingat sabda Yesus di atas “dari buahnya pohon itu dikenal” atau pepatah bahasa Jawa ini :”kacang mongso tinggalo lanjaran” (=batang kacang panjang tidak akan lepas dari pohon/kayu ‘pegangan’nya). Maka baiklah apakah kita sebagai orangtua/bapak-ibu atau ‘pohon’ sungguh baik sebagaimana dikatakan oleh Paulus kepada Titus di bawah ini.

“Tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya”

Dari nasihat atau peringatan di atas ini kiranya ada dua bagian,yaitu: (1) penghayatan hidup yang baik dan (2) menasihati orang berdasarkan ajaran-ajaran yang baik.

(1) Penghayatan hidup yang baik dengan jelas dikatakan oleh Paulus sebagai yang “tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar”. Ada ajakan yang bersifat negatif dan positif. Ajakan yang bersifat negatif ini rasanya yang pertama-tama baik kita hayati atau laksanakan, sehingga dapat dengan mudah melaksanakan ajakan positif, atau mungkin juga dapat dilaksanakan secara serentak sesuai dengan kondisi dan situasi atau kesempatan dan kemungkinan yang ada. Mungkin ajakan yang bersifat negatif yang mendesak saat ini adalah bukan pemarah dan tidak serakah, mengingat dan mempertimbangkan banyak orang mudah marah dan serakah. Marah berarti menghendaki yang lain tidak ada atau melecehkan dan merendahkan yang lain, dan dengan demikian melanggar hak azasi manusia atau menindas harkat martabat manusia. Hal yang senada adalah tindakan serakah, karena dengan serakah berarti berupaya segala sesuatu diperuntukkan bagi dirinya dan yang lain tidak memperoleh bagian, dan dengan demikian berarti merampas hak orang lain. Marilah kita jauhkan dan berantas aneka bentuk kemarahan dan keserakahan.

Kita diharapkan menjadi pribadi atau orang yang “suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar”.

  • Suka memberi tumpangan berarti senantiasa membuka diri atas kedatangan siapapun yang membutuhkan tumpangan alias hidup sosial. Sosial berasal dari kata bahasa Latin socius yang kurang lebih berarti sahabat atau teman. Dengan kata lain dengan hidup dan bertindak sosial kita akan memperoleh banyak sahabat atau teman, dan dengan demikian kita disukai oleh semua orang dan Tuhan. Maka marilah kita buka diri kita dan memberi perhatian pada mereka yang miskin, menderita dan berkekurangan, yang sungguh membutuhkan ‘tumpangan’ dan bantuan.

  • Suka akan yang baik, bijaksana, adil dan saleh. Pertama-tama tentu saja kita sendiri harus baik, bijaksana, adil dan saleh. Apa yang disebut baik senantiasa berlaku umum, kapan saja dan dimana saja.. Memang orang baik pada umumnya otomatis juga akan bijaksana, adil dan saleh. Apa yang baik berasal dari Allah, yang terutama dan pertama-tama adalah Roh Kudus, maka jika kita sungguh baik dan suka akan yang baik berarti hidup dari Roh dan suka akan buah-buah Roh yaitu : “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal5:22-23) .

  • Dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar. Menguasai diri rasanya tidak mudah dan orang merasa mudah menguasai orang lain. Tetapi jika orang tidak dapat menguasai diri dengan baik maka menguasai orang lain berarti menindas dan memeras, sebaliknya ketika kita dapat menguasai diri dengan baik maka menguasai orang lain berarti melayani. Kita semua dipanggil untuk melayani “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."(Mat20:28). Pelayan yang baik pada umumnya “dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar”. Marilah kita belajar, memperdalam dan meningkatkan keutamaan ‘menguasai diri’ ini dalam hidup sehari-hari. Pelatihan untuk itu antara lain dengan ‘menguasai tubuh, kamar tidur/rumah kita sendiri’. Menguasai tubuh berarti dapat mengendalikan dan mengarahkan kata-kata atau tindakan/gerak tubuh ke arah yang baik dan benar, sedangkan menguasai kamar tidur/rumah berarti merawat atau mengurus kamar tidur/ rumah dengan baik: bersih, teratur dst..


(2). Menasihati orang berdasarkan ajaran-ajaran yang baik . Sebagai prodiakon atau pemuka umat kita sering didatangi orang lain yang minta nasihat atau secara proaktif menasihati orang lain. Agar kita dapat menasihati dengan tepat atau memadai kiranya dari pihak kita harus sungguh mendengarkan apa yang disampaikan oleh mereka yang datang kepada untuk minta nasihat. Mendengarkan kiranya merupakan keutamaan yang mulia dan berat, serta membutuhkan kerendahan hati. Dengan rendah hati kita harus siap-sedia untuk menjadi ‘kotak sampah’, dan sering hanya didengarkan dengan rendah hati orang yang bersangkutan sudah merasa puas dan tersembuhkan. Dalam hal mendengarkan kiranya kita dapat meneladan Bunda Maria yang “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya”(Luk2:19), sambil mendengarkan kita berdoa dalam hati.

Ketika orang datang kepada kita untuk minta nasihat sebenarnya terjadi apa yang disebut ‘bimbingan rohani’, dimana terjadi perjumpaan yang terbimbing dan yang membimbing dalam Roh. Dalam hal ini pembimbing atau penasihat sebenarnya berperan sebagai fasilitator atau pelancar dalam mendengarkan suara dan bimbingan Roh, dengan kata lain Roh Kudus sendirilah yang membimbing dan menasihati. Memang pembimbing lebih sedikit berpengalaman daripada yang terbimbing atau yang minta nasihat. Apa yang dibisikkan atau disuarakan oleh Roh Kudus itulah “ajaran-ajaran yang baik”. Dari kita, pembimbing atau penasihat kiranya juga diharapkan mengenakan senjata Allah yaitu “Berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus” (Ef6:14-18)

Pemuka umat diharapkan menjadi teladan hidup beriman dan menggereja maupun memasyarakat.

Sedikit banyak prodiakon sebagai pemuka umat juga ambil bagian dalam kepemimpinan atau penggembalaan umat Allah. Kepemimpinan dalam Gereja bersifat partisipatif, artinya melibatkan partisipasi aktif seluruh umat. Maka peran pemimpin kurang lebih menggembalakan dengan meneladan Gembala Baik, Yesus, yang “datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”(Yoh 10:10). Kita juga dapat menghayati motto Bapak Ki Hajar Dewantoro, bapak pendidikan Indonesia: “ing arso asung tulodho, ing madyo ambangun karso, tut wuri handayani” (keteladanan, pemberdayaan dan dukungan/dorongan). Yang mendesak dan up to date untuk kita hayati dan sebarluaskan kiranya keteladanan. Kita semua diharapkan menjadi teladan yang baik dalam hal hidup berkeluarga, sebagai suami-isteri atau bapak ibu dan tentu saja juga sebagai murid atau pengikut Yesus Kristus. Keteladanan atau kesaksian merupakan cara merasul atau mendidik yang utama dan pertama serta tak dapat digantikan dengan atau oleh bentuk lain apapun. Ingat pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Maka baiklah kita dapat menjadi teladan baik dalam kata maupun tindakan atau perilaku. Apa yang dilihat dan didengarkan akan membentuk atau membina kepribadian orang yang bersangkutan. Maka marilah kita perdengarkan dan perlihatkan apa yang baik, benar, suci, mulia dan indah.

Jakarta, 30 Juni 2007

Ign.Sumarya SJ

sumber : http://www.ekaristi.org/

No comments