Latest News

'

Pendidikan Anak Dalam Keluarga Katolik

PENDAHULUAN

Suami-isteri adalah sepasang pria dan wanita yang telah disatukan oleh Allah, sehingga mereka “tidak lagi dua melainkan satu” (Mat 19). Maka mereka berdua merupakan satu pasangan yang berkenan pada Allah dan terhormat di mata masyarakat. Bila perkawinan mereka itu sah dan dilakukan oleh dua orang yang telah dibaptis secara sah pula, maka perkawinan tersebut bahkan merupakan sebuah sakramen, sebuah tanda dan sarana rahmat, sebuah lambang dari “perkawinan suci” antara Kristus dan jemaatNya (Ef 5).

Kepada mereka berdua itulah Allah menyerahkan anak, sebagai sebuah “titipan” dariNya. Sebagai “titipan” Allah, dan sekaligus juga sebagai citra Allah, setiap anak haruslah sepenuh-penuhnya mereka hargai, mereka cintai, mereka asuh, danmereka didik, sehingga kelak di kemudian hari ia mampu dan berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Allah menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat utama bagi lahir dan tumbuh kembang setiap anak. Beliau juga menghendaki bahwa keluarga menjadi tempat pertama untuk pendidikan anak, sebelum ia dididik lebih lanjut di sekolah dan di tempat-tempat yang lain.

Dalam rangka itu, kepada anak mereka, kedua orang tua diharap mau dan mampu memberi teladan dan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Dalam bukunya yang berjudul “How to raise children for Christ” Andrew Murray menulis : “Kekuatan dalam mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran kita, melainkan pada kepribadian dan tindakan kita, tidak pada ... pengajaran yang ideal ... melainkan pada hidup kita ... , tidak pada harapan atau teori, melainkan padakemauan dan kehidupan nyata kita”.

BAGIAN I : PENDIDIKAN ANAK SECARA UMUM

Yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha orang-orang dewasa untuk membantu anak-anak muda, dalam memperkembangkan kepribadian mereka.

Usaha tersebut menyangkut berbagai bidang, karena kepribadian setiap anak mempunyai berbagai dimensi, yakni : dimensi fisik, dimensi mental, dimensi moral, dimensi sosial, dan dimensi spiritual.

Karena kompleksnya kepribadian setiap anak, maka pendidikan anak merupakansuatu proses yang panjang dan menuntut perhatian orangtua pada berbagai hal. Hal-hal yang paling penting kiranya dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut berikut.

A. Pemberian Gizi yang Cukup

Jiwa yang sehat biasanya terdapat di dalam tubuh yang sehat pula. Bagaimana orangtua dapat membantu anak-anak mereka memiliki tubuh yang sehat? Dengan gizi yang cukup. Untuk menjamin kebutuhan gizi anak-anak selama tahun pertama, ibu mereka sebaiknya memberikan ASI (air susu ibu) se-segera mungkin. Belum ada pabrik susu lain yang dapat menandingi “pabrik” susu yang dibuat oleh Sang Pencipta sendiri. Selain memberikan gizi yang sehat dan lengkap, dengan memberi ASI, setiap ibu juga dapat membina komunikasi yang mesra dengan anak-anaknya.

B. Pemberian Teladan Hidup

Melahirkan anak-anak itu tidaklah terlalu sulit. Yang lebih sulit adalah membuat mereka menjadi orang-orang yang baik. Untuk itu, orangtua harus memberikan teladan hidup yang baik. Kalau orangtua ingin bahwa anak-anak mereka menjadi orang-orang yang rajin, ramah, dan saleh, mereka harus memberikan teladan kerajinan, keramahan dan kesalehan.

Tidak seorang pun dapat memberikan suatu hal yang tidak dipunyainya. Orangtua yang menginginkan anak-anak mereka menghargai sesama haruslah terlebih dahulu membuktikan bahwa mereka berdua saling menghargai dan juga menghargai anak-anak mereka.

C. Perhatian dan Kasih Sayang

Setiap orang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Anak-anak pun membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Tetapi, tentang hal ini, haruslah disadari betul bahwa memperhatikan dan mengasihi tidaklah berarti memanjakan. Orangtua yang memanjakan anak-anak justru membuat mereka menjadi orang-orang yang “lembek” , orang-orang yang tidak memiliki “semangat juang”. Mereka tidak tahan banting dan mudah menyerah.

D. Suasana yang Demokratis

Pendidikan anak-anak sebaiknya berlangsung dalam suasana yang demokratis. Di sana ada komunikasi dua arah. Anak-anak tidak suka dididik dalam suasana komunikasi yang bersifat monolog, satu arah saja. Orangtua tidaklah serba tahu.

Dalam dialog itu, orang tua hendaknya menciptakan suasana yang membuat anak-anak berani mengemukakan pendapat dan mengungkapkan emosi mereka. Selain itu, anak-anak sebaiknya dibantu agar mereka siap mempertanggungjawabkan semua tindak-tanduk mereka

E. Latihan Bekerja

Banyak pekerjaan kecil-kecil dapat dipercayakan kepada anak-anak, agar mereka terlatih dan akhirnya mampu mencintai pekerjaan. Pekerjaan-pekerjaan itu sebaiknya dimulai dari yang sederhana saja, misalnya : membersihkan lantai, mencuci piring, mencuci pakaian, menyiram tanaman, merapikan tempat tidur,menyeterika, menyiapkan minuman teh atau kopi, menghidangkan suguhan untuk tamu, menanak nasi, dan sebagainya. Yang penting, latihan-latihan itu selalu didasarkan pada motivasi yang baik dan tepat.

F. Teguran yang Bijaksana

Bila anak-anak membuat kesalahan, orangtua hendaknya menegur secara tepat. Bila tidak, anak-anak itu mungkin menyangka bahwa yang mereka lakukan itu sudah benar. Meskipun demikian, orangtua juga perlu menggunakan cara yang tepat dalam menyampaikan teguran. Janganlah orangtua “mengumumkan” kesalahan anak-anak di depan teman-teman atau guru-guru mereka. Cara seperti itu menurunkan harga diri mereka. Sebagai reaksi, anak-anak itu mungkin tergoda untuk melawan orangtua. Kalau seorang anak melakukan kesalahan, salah satu dari kedua orang tua, yang lebih akrab dengan anak itulah yang sebaiknyamenegur anak itu “di bawah empat mata”.

G. Perhatian pada “Tangki Cinta”

Masing-masing anak mempunyai semacam “tangki cinta”. Bila tangki itu terisipenuh, hidup anak itu berjalan aman dan lancar. Sebaliknya, bila tangki itu kosong, ia cenderung bersikap nakal dan memberontak. Tangki itu hanya dapat diisi oleh orang lain, tidak dapat diisinya sendiri. Maka, orang tualah yang pertama-tamaharus mengisinya. Menurut beberapa ahli psikologi, ada lima macam “tangki cinta”, yang masing-masing dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

Ada anak yang merasa diberi perhatian bila ia menerima peneguhan atau dukungan dari orang tuanya, saudara-saudaranya, dan orang lain. Maka pintu masuk untuk menyatakan perhatian kepadanya adalah peneguhan dan dukungan.Dengan diberi peneguhan, tangki cintanya akan terisi. Hasilnya, anak itu akan mengatur dirinya sendiri dan mudah juga diatur orang lain.

Ada anak yang merasa diperhatikan bila ia dilayani atau ditolong. Dengan diberipelayanan, tangki cintanya akan terisi. Hasilnya, hidupnya berjalan dengan baik.Sebaliknya, kalau ia tidak dilayani, tangki cintanya akan kosong. Akibatnya, ia cenderung bertindak melawan aturan.

Ada anak yang merasa diperhatikan bila ia didampingi. Dengan pendampingan,tangki cinta anak itu akan terisi. Pendampingan itu dapat dilakukan dengan berjalan-jalan bersama, bersenda-gurau, atau bertamasya bersama-sama. Hasilnya, hidup anak itu dapat berjalan dengan baik.

Ada anak yang merasa sangat diperhatikan bila ia diberi hadiah. Dengan diberi hadiah, tangki cinta anak itu akan terisi. Sebaliknya, ia merasa tidak diperhatikan bila ia tidak diberi hadiah. Akibatnya, ia berontak dan berulah, entah di rumah,entah di sekolah.

Ada anak yang merasa diperhatikan bila ia disentuh. Anak semacam itu merasa senang bila ia mendapatkan dari orang tuanya sentuhan-sentuhan fisik berupapelukan, ciuman, tepukan-tepukan sayang di bahu, cubitan pada pipi dan sebagainya. Bila demikian, kebutuhan akan cintanya terpenuhi, tangki cintanya terisi.

H. Ke-disiplin-an

Salah satu penghasil keberhasilan adalah kedisiplinan. Orang yang hidup dengandisiplin lebih berpeluang meraih keberhasilan daripada orang yang hidup seenaknya. Kedisiplinan itu merupakan hasil dari berbagai latihan yang dilakukan secara teratur dan dalam waktu yang lama. Sayang, banyak orang tua – mungkin karena rasa sayangnya - tidak tekun menumbuhkan ke-disiplinan pada anak-anak mereka. Akibatnya : anak-anak itu hidup tidak teratur dan sulit mencapai keberhasilan.

I. Rahasia Keluarga

Pertengkaran orangtua di hadapan anak-anak menimbulkan rasa gelisah padaanak-anak. Bagi anak-anak, orangtua itu bagaikan tonggak-tonggak kokoh yangmenyangga atap tempat mereka berlindung. Mereka adalah benteng yang kokoh,tempat anak-anak bersembunyi ketika ada kesulitan atau ancaman. Maka benteng itu dapat runtuh bila anak-anak melihat kedua orang tuanya bertengkar, atau bahkan saling menyerang.

J. Simpati dan Empati

Mendidik anak-anak tidaklah berarti hanya memberikan informasi mengenai hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang dilarang, melainkan juga ber-simpati dan ber-empati pada anak-anak itu. Ber-simpati berarti menunjukkan perhatian dan penghargaan. Sedang ber-empati berarti berusaha merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak-anak. Orangtua yang bisa ber-simpati dan ber-empati pada anak-anak tidaklah hanya mengasihi mereka, melainkan juga mengenal dan memahami mereka.

K. Pendampingan

Yang dibutuhkan oleh anak-anak bukanlah sekedar pedoman, nasehat dan pengarahan atau “dogma” melainkan juga kehadiran pendamping yang baik, yakni pendamping yang memahami perkembangan zaman maupun jiwa anak-anak. Teladan utama bagi semua pendamping kristiani adalah Tuhan Yesus sendiri.Dialah gembala yang baik, gembala yang mengenal dan dikenal semua dombaNya.

L. Persahabatan

Orangtua sebaiknya berusaha menjalin persahabatan dengan anak-anak mereka. Menurut Larry Grabb, persahabatan semacam itu akan terjalin bila : anak-anak tahu bahwa orang tua sungguh -sungguh mencintai dan menyukai mereka; anak-anaktahu bahwa orang tua mau menerima segala kekurangan mereka; anak-anak mengalami bahwa orang tua menghargai mereka. Sementara itu, H. Norman Wright dan Gary J. Oliver mengatakan bahwa : anak-anak cenderung mempercayai orangtua yang sungguh-sungguh mempercayai mereka; anak-anak yang didengarkan cenderung mau mendengarkan; anak-anak yang mengalami bahwa mereka dipahami biasanya mau memahami; anak-anak yang dianggap baik oleh orangtua cenderung menganggap orangtua mereka sebagai orangtua yang baik.

M. Keutamaan-Keutamaan

Melalui orangtua, Allah menginginkan dan memberikan hal-hal yang baik bagi anak-anak. Yang baik itu bukan hanya materi (sandang, pangan, papan) dan kepuasan psikis, melainkan juga keutamaan-keutamaan, terutama : iman, harapan, dan kasih. Dalam keluarga yang sehat, orangtua berfungsi sebagai pemberi teladan keutamaan-keutamaan. Mereka dipanggil untuk membantu anak-anak mereka, agar anak-anak mereka pun mampu mengembangkan keutamaan-keutamaan itu.

Sebagai pemberi teladan bagi anak-anak, orangtua bukanlah orang-orang yang sempurna. Karena itu orang tua tidak perlu berpura-pura dapat hidup sempurna. Mereka sebaiknya bersedia mengakui kesalahan, tidak malu meminta maaf bila berbuat salah, dan tidak enggan memberi maaf kepada anak-anak mereka. Dengan mengijinkan anak-anak melihat keterbatasan mereka, orangtua memberi kesempatan yang bagus bagi anak-anak untuk melihat kerendahan hati mereka.

Mengenai pentingnya teladan orang tua Dorothy Molte menuliskan pendapatnyadalam buku “Children Learn What They Live” sebagai berikut :

Jika anak dibesarkan dalam celaan,


ia belajar memaki.


Jika anak dibesarkan dalam permusuhan,


ia belajar berkelahi.


Jika anak dibesarkan dalam cemoohan,


ia belajar rendah diri.


Jika anak dibesarkan dengan penghinaan,


ia belajar menyesali diri.


Jika anak dibesarkan dengan toleransi,


ia belajar menahan diri.


Jika anak dibesarkan dengan dorongan,


ia belajar percaya diri.


Jika anak dibesarkan dengan pujian,


ia belajar menghargai.


Jika anak dibesarkan dalam kejujuran,


ia belajar bersikap adil.


Jika anak dibesarkan dengan dukungan,


ia belajar menyenangi dirinya.


Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,


ia belajar menemukan cinta dalam kehidupannya.


N. Perlunya Rahmat Allah


Yang sangat perlu diperhatikan oleh orangtua katolik saat mereka mendidik anak-anak adalah mendekatkan diri mereka kepada Tuhan, agar beliau sendiri berkenan berkarya dalam diri mereka, yang lemah dan rapuh itu. Tanpa rahmat dan berkat Tuhan, mereka tidak mampu menjalankan tugas mulia itu dengan baik. Dalam mendidik anak-anak mereka, orangtua hendaknya berusaha melaksanakan tugas itu sebaik mungkin, sambil mempercayakan usaha mereka ke tangan Tuhan sendiri, Sang Pendidik Agung.

O. Doa yang Tulus

Doa adalah seruan manusia di bumi yang didengarkan oleh Allah di sorga. Pada awal setiap kegiatan, orangtua katolik sebaiknya selalu meminta berkat Allah, agar segala sesuatu yang mereka perbuat berkenan kepadaNya dan berguna bagi keluarga mereka maupun bagi masyarakat luas. Setiap hari orangtua kristiani hendaknya menyerahkan anak-anak kepada Tuhan dan mengundang beliau untuk berkarya dalam diri mereka, agar anak-anak itu mampu hidup seturut kehendakNya, dan dengan demikian pantas menjadi anak-anak Tuhan.

BAGIAN II : PENDIDIKAN ANAK DI BIDANG IMAN

A. Makna Pendidikan Iman

Yang dimaksud dengan iman ialah hormat dan kasih manusia terhadap Allah. Maka yang dimaksud dengan pendidikan iman ialah proses dan usaha-usaha orang-orang dewasa untuk membantu anak-anak muda agar mereka mampu menghormati dan mengasihi Allah, Pencipta dan Penyelamat.

Hormat dan kasih manusia terhadap Allah itu biasanya berkembang bersamaan dengan perkembangan seluruh kepribadiannya. Bila seseorang semakin dewasa secara menyeluruh, maka biasanya ia juga semakin dewasa dalam iman.

B. Ciri-Ciri Penghayatan Iman

Pada usia kanak-kanak, penghayatan iman seseorang biasanya masih berciri egosentrik (terpusat pada dirinya), emosional (lebih berhubungan dengan perasaannya), konkrit (lebih banyak terkait dengan penyerapan inderawinya), dan spontan (terjadi tiba-tiba, tidak teratur, dan sangat terkait dengan pengalaman di satu tempat dan pada satu saat saja).

Barulah kemudian, pada usia dewasa, penghayatan iman seseorang lebih berciri sosial (diamalkan pada relasinya dengan sesama manusia), rasional (melibatkanpenalaran dan perenungan dengan budi yang jernih dan hatinurani yang bening), abstrak (tidak terlalu terkait pada pengalaman inderawi di satu tempat dan pada satu saat saja), dan sistematik (teratur, saling terkait, membentuk anyaman penghayatan yang bersinambung).

Mengingat ciri-ciri dari penghayatan iman yang disebut di atas, orangtua dan para pendidik yang lain hendaknya berusaha agar semua upaya pendidikan iman sungguh sesuai dengan kemampuan dari orang-orang muda yang mereka dampingi. Pendidikan iman bagi anak-anak kecil hendaknya dilakukan melalui cara-cara yang sederhana dan menyentuh perasaan, tidak terlalu menuntut penalaran, dan mengandung contoh-contoh konkrit dari peristiwa sehari-hari.

C. Pendukung Perkembangan Iman

Di samping memperhatikan hal-hal yang sudah disebut di atas, orangtua kiranya perlu juga mengetahui hal-hal berikut, yang merupakan faktor-faktor pendukung dalam perkembangan iman anak :

* Keyakinan dalam diri anak bahwa dirinya dianugerahi Allah berbagai talenta : Sebagai citra Allah, setiap anak di-anugerahi berbagai talenta. Talenta itu bagaikan sebuah benih, yang masih dapat bertumbuh dan berkembang. Menyadari hal itu, orangtua hendaknya membantu anak-anak, agar mereka memahami diri sebagai insan yang berpotensi, karena telah di-anugerahi berbagai talenta oleh Sang Pencipta sendiri.

* Teladan iman dari orangtua dan orang-orang dewasa yang lain : Iman anak-anak hanya dapat berkembang bila mereka hidup bersama dengan orangtua dan orang-orang dewasa yang sungguh beriman. Sebagai insan yang masih belia anak-anak memerlukan teladan iman dari kedua orangtua dan orang-orang dewasa yang lain.

* Rasa aman untuk mengagumi dan bertanya : Melalui perkembangan imannya, seorang anak berkembang mendekati kebaikan dan kebenaran. Kebaikan dan kebenaran itu dapat dicapainya bila ia lebih dahulu boleh mengagumi segala sesuatu yang dilihatnya. Kekaguman itu kemudian akan berlanjut pada tampilnyaaneka pertanyaan jujur, yang menuntunnya menuju kebenaran. Karena itu, bagi setiap anak haruslah diusahakan adanya rasa aman untuk menyatakan kekagumannya dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang segala hal. Orang tua dan orang-orang dewasa yang lain hendaknya memelihara rasa aman itu, bagi semua anak.

* Dorongan untuk mencintai alam beserta segala isinya : Perkembangan iman mengantar setiap anak semakin dekat dengan Allah. Kedekatan anak dengan Sang Pencipta itu dapat dipacu bila ia dibantu secara bertahap untuk lebih dahulu menghargai dan mencintai ciptaanNya, yakni alam semesta beserta isinya, terutama makhluk-makhluk hidup, dengan manusia sebagai puncaknya.

D. Tahapan Perkembangan Iman

Seperti segi-segi lain dari kepribadian anak, iman anak juga berkembang dalam beberapa tahapan. Menurut James W.Fowler, tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tahapan usia 0-3 tahun :

Tahapan ini disebut “tahapan primal”. Benih iman pada kurun hidup paling dini initerbentuk oleh “rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya” dan oleh “rasa aman yang dialaminya di tengah lingkungannya”. Seluruh interaksitimbal-balik antara si anak dan orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Interaksi yang mendukung perkembangan iman adalah interaksi yang menumbuhkan keyakinan pada dirinya, bahwa ia adalah insan yang dicintai dan dihargai.

2. Tahapan usia 3-7 tahun :

Tahapan ini disebut “tahapan intuitif proyektif”. Unsur terpenting pada tahapan ini ialah intuisi si anak, yang sifatnya belum rasional. Intuisi tersebut dipakainya untuk memaknai dunia di sekitarnya. Intuisi itu memungkinkannya menangkap nilai-nilai religius yang dipantulkan oleh para tokoh kunci (yakni ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pastor, suster dan sebagainya). Maka, pada tahapan ini si anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai Sang Tokoh yang mirip dengan ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pastor, suster atau tokoh berpengaruh yang lain. Pada tahapan ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan hormat pada tokoh-tokoh kunci itu. Usaha-usaha untuk mengembangkan iman seorang anak pada tahapan usia ini seyogyanya dilaksanakan dengan cara yang sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran, dan menghindari ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang nyata.Usaha-usaha pendidikan iman pada tahapan ini hendaknya lebih mengandalkan keteladanan, melalui perilaku yang nyata dari para tokoh kunci.

3. Tahapan usia 7-12 tahun :

Tahapan ini disebut “tahapan mitis literal”. Pada tahapan ini yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatanyang paling dekat dengannya, misalnya kelompok bina iman, sekolah, atau kelompok Sekolah Minggu Kelompok atau institusi tersebut berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pengajaran itu paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah rekaan cenderung diterima olehnya secara harafiah. Usaha-usaha pengembangan iman anak pada tahapan ini seyogyanya tetap dilaksanakan dengan cara sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran.

E. Konteks Perkembangan Iman

Perkembangan iman anak biasanya berlangsung dalam konteks atau ruang lingkup yang diwarnai oleh beberapa hal berikut.

1. Teladan tokoh-tokoh identifikasi :

Iman biasanya tumbuh pada anak pada saat ia mengamati dan mengikuti tokoh-tokoh identifikasinya, secara spontan dan belum terlalu disadari. Tokoh-tokoh identifikasi tersebut adalah orang-orang dewasa yang terpenting dan terdekat baginya, yakni orangtuanya. Sikap dan perilakunya mengacu pada sikap atau perilaku dari orang-orang dewasa yang dihormatinya, tokoh-tokoh panutannya.

Kemampuan seorang anak untuk memahami sesuatu secara abstrak biasanya masih sangat terbatas. Ia lebih mampu memahami sesuatu dengan melihat contoh-contoh yang konkrit dan cenderung mengikuti contoh-contoh tersebut.

Karena itulah, pimpinan Gereja katolik berharap bahwa anak-anak menemukan teladan hidup beriman pertama-tama dalam diri orangtua dan anggota-anggota keluarganya sendiri.

Dalam dokumen yang berjudul “Catechesi Tradendae“ (artikel 68) ditegaskan bahwa sejak usia dini para anggota keluarga perlu saling membantu agar bertumbuh dalam iman.

2. Suasana :

Yang dimaksud dengan suasana adalah keadaan dari suatu tempat. Suasana itu sulit dirumuskan, tetapi mudah dirasakan atau dialami. Bagi seorang anak, suasana merupakan keadaan yang menyenangkan atau tidak, membuatnya kerasan atau tidak. Pengaruh suasana rumah terhadapnya sangatlah besar, apalagi bila hal itu dialaminya selama bertahun-tahun. Karena itulah pimpinan gereja katolik menegaskan bahwa suasana keluarga yang diresapi kasih dan hormat mempengaruhi anak seumur hidupnya (“Catechesi Tradendae” artikel 68).

Suasana memang dapat terjadi karena kebetulan saja. Namun, mengingat pengaruhnya yang besar dalam perkembangan iman anak, suasana di rumah sebaiknya tidak terjadi karena kebetulan, melainkan karena “direkayasa” (dalam arti positif) sedemikan rupa sehingga ia memungkinkan perkembangan iman. Suasana seperti itu dapat diciptakan antara lain dengan : sikap dan perilaku semua anggota keluarga yang penuh kasih sayang dan keakraban; acara dan irama hidup yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan semua anggota keluarga dan sekaligus memungkinkan terciptanya selingan yang menyegarkan ; ruang-ruang rumah dan kebun yang ditata sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang manusiawi dan kristiani; dan tersedianya fasilitas yang memadai, terutama bagi anak.

3. Pengajaran :

Keteladanan kadang-kadang bersifat agak tersembunyi. Maka keteladanan itu sebaiknya juga diperkuat dengan pengajaran, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan daya tangkap anak, sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan kepribadiannya.

Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan iman :pengajaran harus sesuai dengan keadaan anak, kepekaan emosionalnya, aneka kesulitan dan masalahnya; pengajaran harus membantu anak mengolah pengalaman dan perasaannya ; pengajaran harus bersifat komunikatif, tidak indoktriner, dan merangsang anak untuk berpikir secara aktif.

4. Komunikasi :

Komunikasi antara semua anggota keluarga merupakan faktor pendukung perkembangan iman yang tak tergantikan. Memang, hal-hal yang di-komunikasikan tidak perlu selalu langsung mengenai iman. Meskipun demikian, isi komunikasi itu sebaiknya dapat memperluas wawasan iman dan menjadi sumber inspirasi iman. Sementara itu, bentuk-bentuk komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, misalnya : kebiasaan berterus-terang atau sembunyi-sembunyi, kebebasan berpikir atau ketaatan buta. Proses globalisasi sekarang ini membuka kemungkinan munculnya bentuk-bentuk komunikasi yang baru.

F. Aspek Psilologis, Pedagogis, dan Didaktis

Dalam melaksanakan pendidikan iman bagi anak-anak, orangtua perlu memperhatikan aspek psikologis mereka, agar kebutuhan-kebutuhan psikis mereka dapat terpenuhi sewajarnya. Karena itu, orangtua sebaiknya membekali diridengan pengetahuan minimal tentang psikologi anak. Diharapkan bahwa pengetahuan tentang psikologi anak itu dapat membantu orangtua dalam melaksanakan pendidikan iman sesuai dengan tuntutan prinsip-prinsip pedagogis, seperti misalnya yang menyangkut bentuk dan cara mengajar yang sesuai dengan daya tangkap anak. Sekurang-kurangnya orangtua hendaknya tahu apa yang harus dihindari, agar usaha mereka jangan sia-sia atau bahkan bersifat kontra-produktif.

Dalam pendidikan iman bagi anak-anak kecil, perlu juga diperhatikan aspek didaktis, yang menyangkut masalah cara mengajar yang efisien. Meskipun demikian, orangtua yang kurang akrab dengan aspek-aspek didaktis tak perlumerasa kurang mampu, karena pendidikan iman anak usia dini di lingkungankeluarga lebih ditentukan oleh suasana dan keteladanan.

Dalam pendidikan iman itu, aspek ke-Indonesia-an juga perlu diperhatikan sewajarnya. Maka orangtua katolik sebaiknya memperhatikan pengarahan-pengarahan yang diberikan oleh Komisi Kateketik KWI.

G. Tantangan Zaman

Zaman ini diwarnai oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat. Di satu pihak kemajuan itu memberikan kemudahan-kemudahan dan kenyaman hidup. Di lain pihak, kemajuan-kemajuan itu membawa beberapa dampak negatif berikut :

* Individualisme. Orang zaman ini cenderung tak acuh pada orang lain. Karena itu, orangtua hendaknya membantu anak-anak agar mereka mampu mengatasi egoisme mereka.

* Persaingan. Orang zaman ini cenderung bersaing, kurang bersetiakawan. Karena itu, orangtua hendaknya mengingatkan anak-anak bahwa mereka dipanggil Tuhan untuk hidup dalam semangat kesetiakawanan.

* Mental yang lembek. Orang zaman ini cenderung kehilangan daya juang. Karena itu, orangtua hendaknya melatih anak-anak agar mereka tahan banting dan punya daya juang yang tinggi.

* Sekularisme. Orang zaman ini cenderung melupakan Tuhan dalam kegiatan dan hidupnya sehari-hari. Karena itu, orangtua hendaknya menyadarkan anak-anak, bahwa Tuhan itu selalu hadir dan penuh perhatian kepada manusia. Sebagai balasan, manusia sebaiknya menyertakan Tuhan dalam kegiatannya sehari-hari.

No comments