Latest News

'

Santa Lusia, Si “Cahaya” Iman dan Kemurnian

MASA KECIL DAN REMAJA

St. Lusia lahir di Sirakusa di pulau Sisilia, Italia pada abad ke-4. Ia seorang putri bangsawan yang ternama dan kaya. Mereka adalah keluarga Katolik yang saleh. Sayang, ayahnya meninggal dunia saat St. Lusia masih kecil sehingga ia dibesarkan dan dididik hanya oleh ibunya, yang bernama Eutychia. Seringkali di pagi hari, walaupun Sirakusa berhawa dingin dan dipenuhi embun, ibu dan anak ini telah meninggalkan rumah mereka―sebuah gedung besar yang indah―untuk berjalan-jalan menikmati taman dan suasana segar di pagi hari. St. Lusia mempunyai wajah yang cantik dan watak yang ceria, terbuka, dan “transparan” sehingga wajah dan kecantikannya memancarkan ketulusan hatinya. Ibunya mengenal betul sifat putrinya ini dan sangat mencintainya.

Namun, saat Lusia menginjak usia remaja, ada satu hal yang mengganjal hati ibunya, yaitu kerinduan Lusia untuk hidup murni demi Tuhan. Ya, sejak usia remaja Lusia telah berniat untuk hidup suci-murni, tidak menikah, demi Kristus yang amat dicintainya. Banyak pemuda berusaha merayunya bahkan menggodanya dalam hal kemurnian, namun semua godaan ini tak dapat mencemari kemurnian jiwa dan badannya.

Ibunya menentang dengan keras niat hatinya ini. Lusia pun ditunangkan dengan Tertullus, seorang pemuda bangsawan yang tak seiman dengan mereka. Ia ditunangkan dengan pemuda ini juga dengan maksud agar hidup dan teladannya dapat mempengaruhi si pemuda.

 

MUJIZAT TUHAN MELALUI ST. AGATHA

Suatu ketika ibu Eutychia jatuh sakit. Lusia dengan penuh kasih dan kesabaran merawatnya. Karena inspirasi Tuhan, ia mengajak ibunya untuk berziarah ke makam St. Agatha di Kathania. Si ibu menyetujui dan menyuruh Lusia mengajak tunangannya. Namun, seperti dugaan Lusia, Tertullus tidak mau ikut berziarah. Baginya, tempat itu sama sekali tidak menarik, hanya sebuah makam batu yang sunyi-sepi, tidak ada keramaian dan hiburan apa-apa di sana. Itulah Tertullus, seorang yang berwatak tamak, gila harta, dan suka bersenang-senang, maka menurutnya mengunjungi tempat seperti itu benar-benar tidak ada gunanya dan hanya memboroskan waktu dan uang.

Ternyata pendapat Tertullus sangat tidak benar. Ketika Lusia dan ibunya berdoa, tiba-tiba ibunya mengalami kesembuhan. Bahkan, St. Agatha sendiri menampakkan diri kepada mereka berdua. Rasa syukur dan haru menyelimuti mereka. Ibu Eutychia tak mampu mengucapkan kata-kata, sedangkan Lusia meniarap dan mencium batu kubur itu.

Sebagai ungkapan syukurnya, Lusia meminta kepada ibunya agar uang yang akan dipakai untuk membeli rumah dan perabotan bagi dia dan Tertullus diberikan kepada orang miskin. Si ibu terkejut, namun kemudian mengijinkannya, asalkan Lusia tidak memutuskan ikatan pertunangannya dengan Tertullus. Lusia menjawab, “Oh, tentu, Ibu. Namun, hanya bila ia tahan uji dan tidak gila uang!” Ibu Eutychia tidak mengerti apa maksud putrinya dengan kata-kata “tahan uji”. Lusia tidak mau menjelaskannya dan hanya mengatakan bahwa pada saatnya ibunya akan tahu.

 

“UJIAN” BAGI TERTULLUS

Segera setelah peristiwa penyembuhan itu, tiap hari banyak orang miskin datang ke rumah mereka dan menerima uang maupun bantuan-bantuan lainnya. Lusia sedang membagi-bagikan uang simpanannya. Berita ini cukup santer bagi masyarakat dan sampai ke telinga Tertullus. Ternyata Lusia, yang sudah mengenal sifat Tertullus, sudah bisa menduga bahwa niatnya untuk membagikan uangnya kepada para miskin sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan akan merupakan suatu “ujian” bagi tunangannya ini. Tertullus sangat marah mendengar berita ini. Ia menganggap tindakan Lusia ini suatu kegilaan dan menyuruhnya untuk menghentikannya. Namun, Lusia membantah dan mengatakan bahwa Tertullus belum berhak melarangnya dan bahwa ia telah menjanjikan uangnya menjadi hak milik orang miskin.

Amarah dan cinta uang mendorong Tertullus ke pengadilan untuk menuntut tunangannya sendiri. Jaman itu, di bawah pemerintahan Kaisar Diokletianus yang kafir dan kejam, pengejaran dan penganiayaan terhadap para pengikut Kristus sangat gencar dilakukan. Situasi inilah yang dimanfaatkan Tertullus, maupun para pemuda lain yang mengalami “penolakan” dari Lusia.

Surat tuntutan terhadap Lusia sampai ke hakim yang juga tidak beriman, sehingga berlanjut ke tangan Kaisar. Singkat kata, Lusia diadili! Ibunya menangis sedih dan cemas, namun Lusia dengan tenang menghiburnya dan mengatakan supaya jangan bersedih karena Kekasihnya yang sejati sudah menyediakan tempat baginya di Surga sehingga Ia menyembuhkan ibunya dulu supaya ibunya tidak membutuhkan perawatannya lagi.

 

SIDANG PENGADILAN

Ruang pengadilan penuh sesak oleh banyaknya penduduk yang ingin melihat sidang terhadap Lusia. Lusia mengenakan gaun sutera putih halus dan kain tudung yang tepinya bersulamkan benang emas. Dia tampak sangat cantik dan tenang dengan senyum kecil yang menghias bibirnya. Hanya satu tekadnya dalam sidang ini: tetap setia kepada Kristus, Sang Mempelai jiwanya. Lusia memohon segala rahmat dan kekuatan dari Mempelainya.

Semua hadirin memberi hormat saat Paschasius, pembesar kota Siriakus yang menjadi hakim dalam sidang itu, masuk. Beberapa saat kemudian terdengarlah suaranya yang lantang, “Lusia! Atas nama Sri Baginda Kaisar Diokletianus, sembahlah berhala itu dan taburkanlah beberapa butir kemenyan dalam pedupaan itu!” Seluruh ruangan menjadi hening, terasa suatu ketegangan yang mencekam dalam menanti tanggapan Lusia yang akan sangat menentukan nasibnya. Penantian itu sekejap saja, karena dengan segera dan dengan suara lantang pula, Lusia menjawab, “Maaf, tetapi menurutku hanya Yang Maha Esa yang patut disembah.”

Suasana sidang menjadi makin panas. Tuduhan demi tuduhan dilontarkan terhadap Lusia, tentu saja semuanya adalah tuduhan palsu. Juga, segala macam cara dipakai Paschasius untuk menggoyahkan keteguhan hati Lusia, namun tak satu pun berhasil. Akhirnya seorang algojo menikam leher Lusia dengan sebilah pedang sehingga ia terjatuh ke lantai.

Tanpa menghiraukan apa pun, ibunya segera memeluknya. Lusia membuka matanya, “Ibu.” Dengan ketabahan iman yang mengagumkan, ibunya membisikkan ke telinga Lusia, “Berbahagialah putriku!” sambil menunjuk seorang imam yang siap menerimakan Komuni Suci. Walaupun wajahnya sudah pucat, Lusia tersenyum bahagia menyambut Tubuh Kristus. Dalam persatuan yang mesra dengan Kristus, Mempelai jiwanya, Lusia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan ibunya.

 

PENUTUP

St. Lusia―sang perawan dan martir―sesuai dengan arti namanya, yaitu “cahaya”, telah memancarkan cahaya iman dan kemurnian di tengah segala situasi hidupnya. Ia tak segan-segan menyerahkan nyawanya demi imannya pada Kristus. Ia meninggal pada tahun 304 dan diperingati setiap tanggal 13 Desember.

Hidupnya mengajak kita untuk menanya diri, “Sudahkah saya setia pada iman saya? Sudahkah saya setia pada Kristus? Apakah saya tidak mendua hati? Apakah saya lebih memilih iman saya pada Kristus daripada kekayaan, kehormatan, kesehatan, dll?” Singkat kata, dengan hidup dan kematiannya, St. Lusia menyerukan bahwa “Tuhan pantas dicintai lebih dari apa pun dan siapa pun!”

No comments