Latest News

'

Mistik dan Politik

Mistik dan Politik adalah dua hal yang amat berbeda. Yang satu mengurus “hidup rohani”. Yang lain menyangkut “tata hidup bersama”. Keduanya, ibarat dua mata pisau yang tak bersentuhan satu dengan lain. Akan tetapi, mistik sebenarnya mendasari tata hidup bersama demi mewujudkan bonum commune.

Mistik kerap kali disalah mengerti oleh sebagian orang. Mereka menyangka istilah itu mengacu kepada pencarian kekuatan paranormal. Akan tetapi, mistik adalah relasi yang amat mesra antara ciptaan dengan Pencipta. Mistik bukanlah perkara urusan mencari “kesaktian”.

Dalam buku Teologi Mistik William Johston mengatakan bahwa mistik ialah persatuan jiwa dengan Allah melalui cinta (Johnston, 2001). Artinya, persatuan yang hanya akan dialami melalui dan buahnya adalah cinta. Persatuan ini tergantung dari rahmat Allah dan kehendak bebas manusia. Manusia membebaskan dirinya dari segala yang bertentangan dengan kehendak Allah dan menjadi ada yang mencinta.

Mistik adalah cinta. Cinta Allah kepada manusia. Allah yang berbelaskasihan kepada manusia. Allah yang terlibat dalam kehidupan manusia. Allah yang peduli terhadap manusia. Tindakan Allah ini menuntut tanggapan dan kerjasama dari pihak manusia. Manusia mau percaya atau beriman kepada Allah. Ia mempercayakan dirinya kepada Allah. Ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada pertolongan-Nya, perlindungan-Nya dan penyelenggaraan-Nya.

Sedangkan, politik adalah tata hidup bersama. Ia memaksudkan pengembaraan manusia dalam menata hidup bersama. Armada Riyanto dalam Diskursus Filsafat Etika Politik menyebutkan pertautan etika dan politik (Riyanto, 2007). Politik memiliki keserupaan karakter dengan etika, yaitu practical. Seperti etika menekankan tindakan baik, demikian juga politik memimpikan sebuah tatanan yang baik.

Tujuan politik ialah kesejahteraan umum atau bonum commune. Ia mengantar kehidupan manusia yang hidup bersama menjadi sebaik-baiknya. Tujuan etika lebih praktis, ia mau mengantar orang untuk bertindak baik, menjadi baik dan menggapai kebahagiaannya. Jadi, kaitan logis etika dan politik, harmonisasi tata hidup bersama yang mengalir dari tindakan manusia untuk menggapai hidup yang berbahagia.

Menurut Franz Magnis Suseno dalam buku Etika Politik, relasi etika dan politik menyangkut tanggung jawab dan kewajiban manusia dalam kehidupan bersama. Manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat secara keseluruhan dalam menentukan kehidupannya. Berdasarkan kemampuannya itu lahirlah penataan normatif (hukum) dan penataan efektif (negara).

Subjek atau pelaku utama dalam tata hidup bersama adalah manusia. Manusia harus menjadi tujuan dalam kehidupan politik. Bukan berarti memenuhi kepentingan seseorang atau sebagian orang yang menganggap dirinya penting. Tapi, menyangkut seluruh manusia yang hidup dalam societas. Adanya negara termasuk di dalamnya hukum mengatur dan menjamin adanya kebersamaan, tanpa seorang pun dikecualikan. Kesejahteraan umum harus diutamakan di atas kepentingan pribadi.

Apa hubungan antara mistik dan politik? Mistik sesungguhnya menjadi fondasi kehidupan politik demi adanya bonum commune. Kata “mistik” bukanlah semata-mata merujuk orang-orang yang tinggal dalam keheningan padang gurun. Meski, mereka tidak boleh melarikan diri dari kehidupan bersama. Dari persoalan-persoalan politik dewasa ini. Para mistikus harus berempati pada ketidakadilan, penindasan, penderitaan, dan kesedihan yang mewarnai kehidupan masyarakat.

Tetapi, mistik adalah sikap dasar yang menjiwai tatanan masyarakat. Sikap yang menjadi “optio fundamentalis” atau “pilihan dasar” setiap orang untuk mengejar tujuan hidupnya sekaligus tujuan hidup bersama. Keduanya terbukti tidak berseberangan satu sama lain, melainkan searah, setujuan, dan sama-sama melayani kepentingan dirinya dan masyarakat. Lebih tegas lagi, tidak hanya melulu memenuhi kebutuhan hidup ini saja. Tetapi, mengatasi segalanya, manusia dipanggil pada hidup yang baka, mencapai kebahagiaan kekal.

Maka, iman tidaklah egois tetapi bersifat “agape”. Maksudnya, ia memberikan diri seutuhnya kepada sesamanya sebagai bukti penyerahan dirinya yang konkret kepada Sang Pencipta. Ia harus terbuka, peka dan terlibat dalam kehidupan bersama. Ia mau solider terhadap sesamanya yang membutuhkan, yaitu yang miskin, yang teraniaya, yang tertindas, pokoknya yang termarjinalkan dalam masyarakat. Dengan kata lain, mistikus-mistikus zaman ini adalah mereka yang mengalami kobaran api cinta ilahi dan menjadikan mereka ada yang mencinta. Nyala cinta ilahi telah mendorong mereka untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Inilah mistisisme tindakan sosial-politik yang melahirkan mistikus perdamaian

Kenyataan di atas menunjukkan konsekuensi-konsekuensi tegas dalam kehidupan kita.

Pertama, praksis “diam” di hadapan Allah. Manusia tidak melarikan diri dari dunia(fuga mundi), melainkan masuk dalam kesunyian untuk menghayati rahmat Allah yang mendasari, menginspirasi, dan mengorientasi keterlibatan seseorang dalam sejarah hidupnya.

Kedua, praksis sosial politik. Keterlibatan diri dalam kehidupan orang lain sesuai kehendak Allah. Keterlibatan itu nyata dalam solidaritas bersama kaum miskin dan tertindas yang memperjuangkan kebebasan. Keterlibatan itu merupakan tindakan politis, yaitu perjuangan mewujudkan kondisi masyarakat yang adil melalui transformasi tatanan sosial yang tak adil.

Semoga, landasan etis-politis-spiritual memaknai kita sebagai manusia seutuhnya (Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah HIDUP No. 10, Tahun ke-62, 9 Maret 2008, hal. 39).

 

Written by fr. Serafim Maria



 

No comments