Latest News

'

Makna Pengampunan

Matius adalah seorang pemuda yang ­berasal dari keluarga yang cukup berada. Pada suatu ketika, akibat suatu persoalan yang cukup besar, keluarga Matius menjadi berantakan. Matius tidak tega melihat keluarganya hancur. Ia berusaha mencari jalan keluar agar kehidupan keluarganya kembali harmonis, namun segala usaha yang dilakukan oleh Matius tidak berhasil. Ia mulai marah terhadap orang tuanya, hingga akhirnya ia terjerumus dalam penggunaan obat-obatan terlarang. Hari demi hari keluarga Matius menjadi semakin hancur. Kehidupan Matius pun penuh dengan kekecewaan yang akhirnya membawa dia jauh dari Tuhan, sampai suatu hari Matius diajak oleh temannya untuk mengikuti retret penyembuhan luka batin. Di dalam retret itulah ia mengalami kasih Allah yang sungguh luar biasa. Sejak saat itu Matius mulai bertobat dan mau mengampuni kedua orangtuanya.

Ketika kita jatuh ke dalam pencobaan, biasanya hal pertama yang muncul di benak kita adalah “apakah Tuhan masih mengasihi kita?” Pertanyaan tersebut seharusnya tidak perlu ada karena pengampunan dan damai dari-Nya senantiasa tersedia untuk kita yang mengalami luka-luka di dalam kehidupan.

Pengampunan adalah batu penjuru bagi keselamatan. ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal”(Yoh 3:16). Melalui kehidupan dan kematian-Nya, Kristus melakukan apa yang tidak dapat dilakukan manusia bagi dirinya sendiri. Ia mengampuni dosa-dosa kita – dulu, sekarang dan selamanya. Tatkala darah-Nya yang suci membasuh diri kita, maka seluruh dosa pun dileburkan.

Pengampunan dari Tuhan ini membutuhkan dua elemen penting. Yang pertama ialah dosa yang harus diampuni dan yang kedua adalah seseorang yang mau mengampuni. Disini Yesuslah yang menjadi pengantara bagi kita di hadapan Bapa (1Yoh 2:1). Oleh sebab itu ketika iblis mulai mendakwa kita atas dosa-dosa masa lampau, Yesus membantu kita dan menyatakan kasih-Nya kepada kita semua.

Tidak ada satu dosapun yang tidak dapat diampuni-Nya jika kita benar-benar bertobat. Ia tahu segala sesuatu tentang kita. Begitu kita menerima rahmat pengampunan dari-Nya, Ia akan memulihkan hidup kita dan memberi pengharapan baru bagi kita yaitu keselamatan kekal. “Tak ada satu kekuatan pun di dunia ini yang sanggup memisahkan kita dari kasih setia-Nya” (Rm 8:38-39).

Sama seperti Allah yang telah mengampuni segala dosa dan kesalahan kita, maka sudah sepatutnyalah kita pun berlaku serupa terhadap setiap orang yang bersalah kepada kita. Hal ini tentu saja bukan berarti bahwa setiap orang yang bersalah tidak perlu dihukum, itu hak Allah (Ibr 10:30) dan bukan wewenang kita. Walaupun demikian kita sering gagal dalam hal yang satu ini. Kita sering merasa puas jika melihat orang yang bersalah kepada kita itu menderita. Jikalau dendam semacam ini masih ada dalam diri kita, maka akan timbul berbagai masalah, baik emosional, spiritual, maupun fisik. Beberapa akibat dari roh dendam:


  • Terjadi ikatan emosinal yang negatif terhadap orang yang kita benci. Rasa dendam kita akan menghabisi diri kita sendiri. Kita akan semakin merasa pahit, mudah tersinggung, marah dan frustasi.




  • Hubungan dengan orang lain hancur. Ketika kita menolak untuk mengampuni, kita sudah membangun sebuah tembok yang menyulitkan kita untuk mengasihi dan dikasihi orang lain.




  • Persekutuan dengan Allah rusak. Sikap tidak mau mengampuni menjadi salah satu faktor utama mengapa hubungan kita dengan Allah tidak maju-maju atau malah mundur. Sikap semacam ini membangun tembok-tembok emosi dan menutup aliran sukacita, kasih dan berkat-berkat lain dari Allah.




  • Munculnya kelemahan fisik. Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa kepahitan dan kegeraman akan mempunyai akibat buruk terhadap tubuh kita. Sakit jantung, depresi, insomnia (sulit tidur), dan menurunnya produktivitas kerja adalah sebagian kecil akibat yang harus kita ‘nikmati’ karena sikap kita ini. Di sisi lain, pengampunan akan membebaskan kita dari segala masalah di atas sehingga kita dapat menikmati hidup. Hidup yang melampaui ikatan emosional yang membelenggu kita.



 

 

Rasul Paulus memberikan kita kunci untuk menemukan kedamaian yang melampaui segala akal manusia. Sebagai orang beriman kita harus ingat bahwa kita telah disalib bersama Kristus. Hidup kita bukanlah milik kita lagi. Kristuslah yang sekarang hidup, yang kita jalani dalam daging sekarang adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita semua yang mengasihi Dia.

Tuhan adalah cinta. Dia adalah anugerah. Dia pulalah Sang Pemberi rahmat. Cinta terbesar yang diberikan-Nya kepada kita adalah saat kematian-Nya di kayu salib demi keselamatan kita semua. Tuhan Yesus telah menghapus dosa-dosa kita dengan mentaati kehendak Bapa-Nya dengan mati di atas kayu salib. Ia tidak marah dan membenci orang-orang yang menyalibkan-Nya, melainkan Ia mendoakan dan mengampuni mereka. Maka mengampuni adalah suatu rahmat besar yang Tuhan curahkan dalam kehidupan kita umat manusia. Andaikata kita menganggap diri saleh, berarti kita menipu diri kita sendiri dan juga tidak akan pernah merasakan kehadiran Allah di dalam hidup kita.

Di surga akan ada kegembiraan lebih besar atas seorang pendosa yang bertobat, daripada atas sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.Pertobatan membantu kita mengingat kembali bahwa Tuhan datang bukan untuk menyelamatkan orang benar melainkan orang berdosa dan justru kedosaan kita itu yang paling hakiki menjadi daya tarik bagi kasih-Nya bahwa Ia menerima dengan penuh kasih sisi gelap kehidupan kita yang tampaknya sulit kita akui. Dan sesungguhnya kelemahan kita yang terbuka di hadapan-Nya itulah yang merupakan gerbang masuk bagi-Nya ke dalam diri kita. Dan ini juga merupakan jalan bagi kuasa penyelamatan-Nya yang menjadi sempurna dalam kelemahan kita. Nabi Yesaya mengatakan “dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu”(Yes 30:15). Hanya rasa rendah hati yang dapat membuat kita gembira mengetahui betapa kerdilnya kita ini dibandingkan dengan kemuliaan Tuhan. Tiada yang lebih membahagiakan kehidupan rohani kita daripada keinginan untuk dicintai Tuhan. Dengan menyadari betapa besar dosa kita, kita dapat menyadari dan mengenal bahwa hanya Tuhan yang paling baik, yang mampu membawa kita kepada pengenalan akan kasihnya serta membawa kita kepada kehidupan yang kekal.

Kita mau menerima pengampunan dari Tuhan dan membiarkan Dia menjiwai perjalanan hidup kita supaya senantiasa diwarnai oleh kebahagiaan dan sukacita. Ini berarti bahwa kita bersedia menerima-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita datang ke hadapan Tuhan sebagai orang yang penuh dosa, yang terluka, yang tidak tertata. Berkat terang cahaya kasih Tuhan, kita ingin menyadari kedosaan kita, sisi gelap hidup kita, bahwa kita tertawan dalam kungkungan yang penuh dosa. Dengan menyadari kedosaan kita, maka Tuhan akan mengampuni kita. Di pihak lain, perlu juga untuk menyadari akan kelemahan kita. Untuk melakukan hal ini kita harus mengarahkan hati kita kepada Tuhan dengan segenap hati. Di sini kita ingin datang kepada-Nya sebagai orang kecil, dengan merendahkan diri, dan dengan tulus seperti seorang anak kecil yang hidupnya hanya bergantung pada orang tuanya. Dalam suratnya Rasul Yakobus mengatakan “Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan. Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan jangan berdusta melawan kebenaran! Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan. Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belaskasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik. Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai” (Yak 3:13-18).

Seringkali reaksi pertama ketika kita dilukai ialah marah. Kalau kita dapat segera menangani rasa marah itu, kita dapat menggunakan proses pengampunan yang membawa kita kepada pengenalan akan cinta Tuhan. Salah satu jalan keluar untuk menangani secara dini rasa marah itu adalah proses yang disebut “bebas mencinta”. Yesus sendiri telah bersabda “apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, dan hujat. Itulah yang menajiskan” (Mat 15:18-20). Perasaan ini disalurkan menuju dunia internal kita sedemikian rupa, sehingga tanggapan-tanggapan kita terhadap lingkungan kita muncul. Kalau pelampiasan emosi ini terjadi dalam bentuk kemarahan, itu merupakan sifat kita yang seperti orang yang tak punya kasih. Tujuannya ialah untuk membuat orang lain takut dan orang lain harus mengikuti kehendak kita. Amat jarang kemarahan dapat berjalan bersama dengan pengampunan dan kasih, yang kita harapkan. Hanya kalau bebas dari rasa marah, kita dapat bebas untuk mencintai Allah dan sesama. Sebab dengan bebas dari rasa marah, hidup kita dikuasai oleh kasih karunia Allah dan tidak ada lagi percekcokan yang pada akhirnya membawa kita jauh dari Tuhan. Dan seorang santa pernah mengatakan “Roh Kudus suka berbicara kepada jiwa yang berdiam diri. Bukan kepada jiwa yang banyak bicara. Allah akan bekerja tanpa henti dalam jiwa yang suka menenangkan diri.”

Langkah bebas untuk mencintai Allah ini tampaknya dapat dipakai untuk mengolah semua kemarahan. Perlu diingat bahwa Allah selalu hadir dalam setiap peristiwa hidup kita. Dan jika dalam diri kita seringkali ada perasaan marah tanpa ada pengampunan, hal itu berarti kita menolak Allah yang ada di dalam diri kita masing-masing. Pada saat ini Tuhan mengajak kita semua untuk kembali kepada Dia dengan sepenuh hati, supaya hidup kita memperoleh kebahagiaan. Tuhan mengharapkan supaya kita sebagai orang Kristen mau diajak untuk saling mengampuni, sebab dengan adanya pengampunan maka hidup kita akan diwarnai oleh kasih karunia Allah.

Santo Paulus merangkul semua perintah Kristus untuk mengampuni dalam suratnya kepada Jemaat di Roma ”Berkatilah siapa saja yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk” (Rm 12:14). Yesus menegaskan bahwa kita dapat menghadap Allah kalau hubungan kita dengan sesama baik. Ketika berbicara mengenai seseorang yang menghadap ke altar dengan persembahan bagi Tuhan, Ia berkata “sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5:23-24).

Diampuni bukan berarti hubungan kita dengan orang yang telah kita sakiti hatinya berjalan terus seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Memang inilah cara yang biasa kita terapkan, khususnya terhadap orang yang dekat dengan kita. Sikap pura-pura dan tidak ingat apa-apa itu sangat umum. Ini sering kita terapkan pula dalam hubungan dengan Tuhan. Dan itulah sebabnya mengapa kita mengaku dosa sejarang mungkin.

Pengampunan Tuhan dapat memperbaharui hidup kita, agar hidup kita di dunia memperoleh suatu kebahagiaan yang kekal. Dan Tuhan sendiri telah bersabda “ marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan (Mat 11:28-30). Tuhan mengajak kita semua untuk datang kepada-Nya dengan hati yang terbuka supaya segala sesuatu yang bukan Dia dapat dihancurkan, dan supaya hidup kita memperoleh kebebasan yang merupakan pancaran dari kasih-Nya.

Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, anak bungsu berkata, “aku akan menghadap bapaku dan akan kukatakan …” (lih Luk 15:18-19). Apakah hati kita dipenuhi sukacita melihat Allah menyambut kita dengan tangan terulur seperti ayah menyambut anaknya yang hilang? Dan ketika anaknya masih jauh sang ayah melihat dan ia terharu,lalu segera berlari menyosongnya. Betapa senang melihat kegembiraan Allah melihat kita pulang dan kembali kepada-Nya, yaitu kembali kepada jalan yang benar yang membawa kita kepada kehidupan kekal. Pesta kegembiraan dalam rumah ayah itu dapat kita alami setiap kali kita kembali kepada-Nya. Dan ketika kita kembali kepada jalan yang benar, di sanalah kita akan menemui kebahagiaan sejati. Dengan adanya pengampunan di dalam hidup kita, maka kasih karunia Allah selalu mewarnai perjalanan hidup kita, sebab sesungguhnya segala sesuatu yang kita lakukan merupakan pancaran kasih karunia Allah.

Written by Tim Carmelia

No comments